Demikian yang diungkapkan oleh mantan Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Internasional, Siti Ruhaini Dzuhayatin kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (15/12).
Dalam laporan WSJ disebutkan bahwa pemerintah China mengundang ormas-ormas Islam dan media Indonesia untuk berkunjung ke Xinjiang untuk melihat bagaimana kondisi Muslim Uighur. Menurut WSJ, di sana ormas dan media Indonesia seakan-akan di "cuci otak" untuk tidak menyuarakan ketidakadilan yang dialami Muslim Uighur.
Menanggapi hal ini, Siti mengatakan pemerintah Indonesia dan pemerintah China memang melakukan kerja sama yang juga melibatkan ormas Islam sebagai upaya 'constructive engagement'. Dalam kerja sama ini kedua pihak kerap kali berkunjung dan bertukar pandangan. Namun hal tersebut tidak membuat Indonesia membenarkan pendekatan kekerasan yang dilakukan oleh China.
"Muhammadiyah dan NU tetap kritis terhadap tindakan-tindakan kekerasan yang acapkali muncul dalam ketegangan tersebut namun dengan cara yang santun, tidak 'naming dan shaming' yang justru tidak produktif untuk suatu jalan damai yang hakiki di Xinjiang, terutama pada etnis Uighur," ujar mantan Ketua Komisi HAM OKI ini.
Siti melanjutkan, apa yang dilakukan oleh Indonesia untuk mengedepankan penyelesaian secara dialogis, negosiatif, dan konstruktif tidak hanya berakar pada pandangan politik pemerintah Indonesia semata. Pihak Indonesia juga melihat kedekatan Muslim Indonesia dan Xinjiang yang sudah terjalin jauh sebelum isu Uighur menjadi isu internasional.
"Apa yang disinyalir WSJ terlalu berlebihan dalam melihat hubungan baik yang sudah dijalin masyarakat Islam Indonesia dan masyarakat Muslim di Xinjiang," tegasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: