Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat.
Narasumber dalam acara tersebut, salah satu adalah peneliti senior LIPI, Siti Zuhro.
Siti membuka ceramahnya dengan mengulas peristiwa politik yang terjadi di tahun 2019 dimana pemilu legislatif dan pilpres digelar serentak.
Alhasil, kata dia, pada tahun itu terjadi polarisasi yang sangat hebat bagi bangsa Indonesia. Khususnya, akibat dari Pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon.
"Masyarakat telah terkotak-kotak. Bahkan dampak pemilu pun belum juga sirna walupun elitnya sudah menjalin hubungan dengan penguasa dan oposisi hampir tidak ada," ujar Zuhro, Jumat (10/1).
Lebih mengkhawatirkan bahasa curiga sampai hari ini masih terjadi. Dunia politik, sambung Siti, itu seringnya tidak jelas.
"Membaca politik Indonesia membutuhkan kejelian. Kadang bisa di prediksi kadang suka-sukanya aja. Ada perubahan dan berkesinambungan. Ada juga yang tidak berubah," jelasnya.
Di tahun 2020 ini Indonesia akan menghadapi Pilkada serentak dibeberapa wilayah. Sambungnya, sudah benar cara berpikir bahwa Pilkada menjadi tiang pancang demokrasi Indonesia tapi produknya yang belum cukup untuk dikatakan baik.
"Tetapi kita lupa jantungnya itu di partai politik. Kalau partai tidak menyediakan kader terbaiknya, lalu negara ini diuntungkan sistem Demokrasi yang seperti apa? ," tegasnya.
Sebagai solusi, lanjutnya, Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam tertua di Indonesia. Harus bisa melahirkan "khalifah" untuk memimpin arah Indonesia.
"Untuk itu kita harus bangkit, harus menjadi khalifah. Kita harus punya empati. Yang luput dari pemerintah, Muhammadiyah harus berani menjamahnya," tutupnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.