Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Misteri Malari, Malapetaka Lima Belas Januari

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/yelas-kaparino-1'>YELAS KAPARINO</a>
LAPORAN: YELAS KAPARINO
  • Rabu, 15 Januari 2020, 09:13 WIB
Misteri Malari, Malapetaka Lima Belas Januari
Foto dokumen peristiwa Malari/Net
PULUHAN aktivis duduk bersama memperingati peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). Tidak seperti biasanya, kali ini peringatan Malari dilakukan dengan kegiatan pertandingan catur.

Sebanyak 28 aktivis senior ikut serta dalam turnamen catur bertema “46 Tahun Malari: Mendengar Suara Rakyat” yang digelar di Restoran Pempekita, Jalan Duren Tiga Raya, Jakarta Selatan, Minggu 12 Januari 2020.

Mereka yang ikut dalam pertandingan yang menguras otak ini di antaranya Ketua Umum DPP Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK) Bursah Zarnubi, Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi, dan Pemimpin Umum RMOLNetwork, Teguh Santosa.

Selain itu, ada juga Direktur Eksekutif Government & Political Studies (GPS), Gde Siriana Yusuf, Koordinator Petisi 28 Haris Rusli Moti, seniman Bambang Isti Nugroho, dan mantan anggota DPR Hatta Taliwang.

Selanjutnya, ada aktivis Syafti Ucok Hidayat, Sahroni, Jemek Wibowo Arif, Agus Jabo Priyono, Penjor Bramantio, Sentanu Wiyata, Binbin Firman Tresnadi, Ariadi Achmad, Abuyazid Bustomi, dan Bambang Budiono.

Para aktivis senior tersebut diberi waktu selama 10 menit berpikir dan menjalankan bidak catur mereka untuk mengalahkan lawan. Tidak seperti pertandingan catur biasanya yang penuh ketegangan dan hening.

Dalam turnamen ini, peserta justru tampak ramai berbincang perihal politik terkini. Sesekali mereka juga menertawakan rekan yang salah menjalankan bicak catur.

Di sela acara ini, peserta turnamen catur menyempatkan diri menyampaikan duka dan mendoakan aktivis senior Agus “Lenon” Edy Santoso yang meninggal dunia pada Jumat 10 Januari 2020 lalu.

Peristiwa  Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.

Hingga kini peristiwa tersebut masih menjadi misteri. Siapa sesungguhnya yang paling berperan atas pecahnya kerusuhan sosial yang menewaskan 11 orang, 300 orang luka-luka dan merusak ratusan kendaraan dan bangunan tersebut.

Ada banyak versi cerita tentang peristiwa Malari. Ada yang mengatakan, peristiwa itu dipicu akibat kebijakan Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto saat itu terlalu gampang menerima bantuan dari negara asing. Terutama dua negara yang pernah menjajah Indonesia. Yakni Belanda dan Jepang. Mahasiswa pun menyuarakan aspirasi menolak bantuan asing untuk pembangunan yang dikhawatirkan bisa menjadi jeratan penjajahan baru di Indonesia.

Di sisi lain ada yang menyebutkan bahwa peristiwa Malari pecah akibat adanya perseteruan orang-orang di lingkaran terdekat Presiden Soeharto yang berebut pengaruh. Disebut saat itu ada dua jenderal yang diam-diam bersaing, yakni Jenderal Ali Moertopo yang saat itu menjabat Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto versus Jenderal Soemitro yang saat itu menjabat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).

Bahkan ada juga yang menyebut bahwa cikal bakal aksi demonstrasi tersebut sebetulnya berawal dari penyampaian rancangan undang undang (RUU) mengenai perkawinan yang baru kepada DPR. Namun mencantumkan sejumlah pasal yang bertentangan dengan syarat pernikahan dalam hukum agama Islam.

Sebuah acara diskusi yang dihadiri tokoh-tokoh orde lama kemudian digelar pada 13 Agustus 1973 di Universitas Indonesia (UI). Kesimpulan dari diskusi ini menyatakan perlunya penggalangan aksi untuk mulai mengoreksi langkah-langkah pemerintah yang mulai melenceng menurut para pengamat.

Kemudian pada 17 hingga 18 September 1973 ratusan mahasiswa datang ke gedung DPR dan menyampaikan protes mengenai RUU perkawinan, meskipun pada akhirnya RUU tersebut diubah.

Situasi sebelum Malari, Presiden Soeharto berusaha melakukan pembangunan dalam berbagai bidang di awal pemerintahannya namun salah satu hambatan yang dialami berasal dari utang peninggalan Pemerintahan Soekarno. Sehingga Pemerintahan Soeharto berusaha untuk menutup utang tersebut dengan mengizinkan negara lain melakukan investasi.

Pada saat itu, Amerika Serikat (AS) sudah menjadi mitra besar Indonesia di bidang energi dan pertambangan, namun dominasi Jepang di Asia terlihat lebih nyata. Hal ini disebabkan karena berbagai alat transportasi, elektronik dan barang lainnya lebih didominasi produk dari Jepang.

Sehingga tersiar kabar bahwa Jepang akan melakukan investasi besar-besaran di Indonesia. Mahasiswa pun terpicu untuk melakukan suatu gerakan protes. Para mahasiswa juga menganggap kebijakan pemerintah sehubungan dengan investasi asing sudah menyimpang dan tidak berpihak kepada rakyat, dan membuat ekonomi rakyat semakin memburuk.

Pada saat sebelum sejarah peristiwa Malari dimulai, juga ada indikasi perpecahan antara tokoh militer yang berada di pemerintahan. Pada awal pemerintahan Orde Baru di tahun 1970-an, Jenderal Soemitro yang menjabat sebagai Deputi Panglima Angkatan Bersenjata dan Panglima Kopkamtib sering mengadakan rapat mingguan dengan para menteri di kantornya.

Hal ini diprotes oleh Jenderal Ali Moertopo dan kawan-kawan karena menganggap Soemitro memiliki niat untuk menjatuhkan wibawa pemerintahan Soeharto.

Bahkan pada tahun 1973 Soemitro mendatangi kampus-kampus dan mengemukakan gagasan agar mahasiswa lebih kritis lagi kepada pemerintah.

Pada 24 Oktober 1973 para tokoh pemuda angkatan 1928, 1945, dan tahun 1966 menerbitkan “Petisi 24 Oktober” yang menyoroti mengenai strategi pembangunan yang keliru dan adanya penyelewengan kekuasaan dan korupsi. Kemudian pada 10 November 1973 peringatan hari pahlawan dilakukan para aktivis mahasiswa yang berikrar untuk menghimpun solidaritas.

Pada waktu ini, Ketua InterGovernmental Group on Indonesia (IGGI) JP Pronk berkunjung ke Indonesia untuk mengatur skema pemberian utang Indonesia. Mahasiswa yang menentang kunjungan itu berdemo di Jakarta dan Yogjakarta untuk menyambut kedatangannya.

Sorotan yang didapatkan pemerintah terkait dengan masuknya modal asing ke Indonesia juga dibahas dalam diskusi di Balai Budaya Jakarta pada 30 November 1973, dan penolakan terhadap modal asing terus dikemukakan sejak itu.

Lalu pada 12 Januari 1974 para Ketua Dewan Mahasiswa dari berbagai universitas datang menemui Presiden Soeharto. Mereka menyampaikan tuntutan untuk memberantas korupsi dan mengenai perbaikan ekonomi, namun mereka tidak puas dengan hasil pertemuan dan merencanakan untuk melakukan gerakan yang lebih besar pada tanggal 15 Januari.

Kemudian saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974), mahasiswa menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

Pukul 19.45 WIB, 14 Januari 1974, Pesawat Super DC-8 JAL mendarat dengan mulus di landasan Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka dipersilakan keluar dari pesawat. Tak ada upacara militer dan sambutan kenegaraan. Setelah menerima kalungan bunga, Tanaka meluncur ke Wisma Negara untuk beristirahat.

Presiden Soeharto dan beberapa menteri bertemu dengan Tanaka serta rombongannya pada 15 Januari 1974, di Istana Negara.

Pada saat bersamaan, ribuan orang, yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa dan pelajar SMA, turun ke jalan melancarkan protes. Mereka berteriak lantang menentang derasnya investasi Jepang yang masuk ke Indonesia.
Peristiwa Malari dimulai dari unjuk rasa kecil-kecilan yang dilakukan para mahasiswa di Lanud Halim Perdanakusuma.

Tanggal 15 Januari 1974, ribuan mahasiswa bergabung dalam long march yang dimulai dari kampus UI Salemba hingga ke Universitas Trisakti. Ketika mahasiswa sedang berunjuk rasa, terjadi juga kerusuhan dan pembakaran di pusat kota Jakarta.

Saat itu, Jenderal Soemitro menjabat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Sesuai dengan namanya, Kopkamtib tentu saja dibentuk untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Saat mendengar kabar para demonstran masuk ke Jalan Thamrin, Soemitro langsung loncat ke atas mobil jip. Dalam pikirannya hanya satu: para demonstran tidak boleh masuk Monumen Nasional (Monas). Dia bergegas menghampiri mereka.

Namun, baru sampai Sarinah, laju mobil jipnya melambat. Jalanan macet karena terhalangi demonstran yang berkumpul di depan Kedutaan Besar Jepang yang terletak tidak jauh dari Sarinah.

Soemitro lantas naik ke badan mobil jip lalu berorasi. Lewat pengeras suara, kata-katanya bisa didengar semua demonstran yang ada di situ.

“Saya mengerti aspirasi saudara-saudara. Saya mengerti uneg-uneg kalian. Tapi, percayakan soal itu kepada pemerintah kita,” kata Soemitro. Dia mengakhiri orasinya dengan pertanyaan, “Kalian percaya atau tidak pada saya?”.

Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (1996), buku kumpulan kesaksian yang dituturkan Soemitro kepada Heru Cahyono, menyebut orasi itu berhasil. Massa berangsur membubarkan diri. Kecemasan bahwa para demonstran akan memasuki Monas pun sirna dari benak jenderal yang menjabat Pangkopkamtib sejak 1971 itu.

Di sisi lain, kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS) terletak di Jalan Tanah Abang III, Jakarta Pusat, didatangi demonstran. CSIS disebut sebagai penyumbang pemikiran kebijakan ekonomi pro-korporasi asing yang diterapkan Soeharto.

Pada hari malapetaka itu, tepat di depan kantor CSIS para demonstran berhenti. Mereka berteriak-teriak seraya mengejek lembaga yang didirikan dua orang Asisten Pribari (Aspri) Presiden Soeharto, Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani tersebut. Mereka bilang Ali Moertopo adalah antek-antek Jepang.

Ali Moertopo tidak terima dengan tudingan itu. Laki-laki yang juga menjabat Deputi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) itu marah dan meraih pistolnya. Namun Jusuf Wanandi, yang saat itu bekerja di CSIS, berusaha mencegah tindakan Ali.

“Apa kamu takut,” kata Ali kepada Jusuf.

“Bukan seperti itu, Pak. Saya pernah dalam posisi mereka. Mereka sangat kuat dan dapat menggilas CSIS,” balas Jusuf, seperti diceritakannya dalam Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia, 1965-1998 (2012).

Pada malam itu juga, saat jamuan makan malam, Presiden Soeharto meminta maaf kepada Tanaka atas gelombang protes yang muncul. Tanaka menanggapinya dengan mengatakan dia paham atas situasi yang terjadi. Dia pun meminta Soeharto untuk tidak mengkhawatirkannya.

Keesokan hari, 16 Januari 1974, aliran demonstrasi tidak kunjung mereda. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin resah. Laki-laki yang akrab disapa Bang Ali itu memutuskan pergi ke kampus UI di Salemba. “Saya masuk dari belakang, dari rumah sakit,” kata Bang Ali dalam Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977 (1995).

Kabar Bang Ali sedang berada di UI itu pun sampai ke Soemitro lewat laporan dari Kepala Staf Kopkamtib Sudomo. Soemitro meminta Bang Ali untuk meneruskan dialog dengan mahasiswa. Pesan Soemitro: katakan kepada mahasiswa bahwa persoalan sudah selesai, usahakan supaya aksi mahasiswa mereda.

Pada malam hari, Bang Ali berbicara kepada para mahasiswa seraya menekankan, jika demonstrasi terus berlangsung, korban dari pihak mahasiswa akan berjatuhan. Bang Ali pun mengajak Hariman ke TVRI. Lewat siaran TVRI, Hariman mengumumkan persoalan yang dihadapi mahasiswa sudah selesai.

Imbauan Hariman Siregar di TVRI itu mampu meredam aksi mahasiswa. Namun, malapetaka sudah kadung terjadi. Sebanyak 807 mobil dan motor buatan Jepang hangus dibakar massa, 11 orang meninggal dunia, 300 luka-luka, 144 buah bangunan rusak berat, 160 kg emas hilang dari toko-toko perhiasan.

Sebanyak 775 orang aktivis ditangkap. Di antaranya Hariman Siregar, tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI, partai bentukan Sutan Sjahrir yang sudah lama bubar) Soebadio Sastrosatomo, aktivis HAM Adnan Buyung Nasution dan J.C. Princen, dan akademisi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.

Sebagaimana dilansir informasi rahasia-rahasia Ali Moertopo, dalam proses penangkapan aktivis yang dinilai terlibat Malari 1974, orang-orang Soemitro berupaya menangkap pendukung Ali Moertopo.

Begitu pula sebaliknya. Kelompok Ali Moertopo berusaha menangkap pendukung Soemitro. Pola seperti itu menjadi salah satu indikasi adanya perseteruan antara Soemitro dan Ali Moertopo di balik peristiwa Malari 1974.

Perseteruan tersebut sebenarnya sudah muncul sebelum Malari 1974 meletus. Mereka seolah-olah berlomba merebut perhatian dan berusaha mendekatkan diri kepada jantung kekuasaan saat itu yakni, Presiden Soeharto.

Salah satu cara yang ditempuh yakni dengan menunggangi gerakan mahasiswa yang mulai mencuat sejak 1970 dan menguat pada 1973.

Ali Moertopo pun dinilai berhasil menguasai mahasiswa UI lewat intervensi yang dilakukannya dalam pemilihan Hariman sebagai Ketua DM UI. Menjelang akhir 1973, saat situasi politik memanas, Soemitro rajin menyambangi kampus-kampus, kecuali UI.

Salah satu indikasi lain yang dijelaskan Soemitro dalam biografinya adalah soal keberadaan Dokumen Ramadi. Kata “Ramadi” merujuk pada nama seorang anggota MPR dari Golkar yang juga menjadi penasihat Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI). Keberadaan dokumen ini sudah diketahui Soemitro sejak September 1973 tetapi tidak terlalu digubrisnya.

Dokumen tersebut memuat rencana revolusi sosial yang dijadwalkan meletus pada 4 April dan 6 Juni 1974. Revolusi itu dikatakan mampu menggantikan Soeharto dengan seseorang berinisial “S”, maksudnya tentu saja Soemitro.

Soemitro mengakui, pada masa itu memang ada penggalangan orang-orang eks DI/TII, yang berhubungan dekat dengan Ali Moertopo, untuk masuk GUPPI. Karena itu, bagi Soemitro, isi Dokumen Ramadi adalah desas-desus yang disebarkan kelompok Ali Moertopo untuk menjatuhkan namanya.

Sementara itu, Kepala Bakin Yoga Sugama, yang ditugaskan menyusun laporan mengenai Malari 1974 oleh Presiden Soeharto, punya perspektif lain. Seperti diungkapkannya dalam Memori Jenderal Yoga (1991), dia menyebut, pergolakan yang terjadi pada akhir 1973 dan awal 1974 itu tidak murni sebagai gerakan mahasiswa.

Hasil penelusuran Yoga Sugama bermuara pada kesimpulan bahwa ada kelompok lain yang menggerakkan mahasiswa dari balik layar. Kelompok itu adalah simpatisan Partai Sosialis Indonesia dan Kelompok Ramadi, orang “binaan” Ali Moertopo yang pernah diungkapkan Soemitro.

Setelah peristiwa Malari 1974, Presiden Soeharto memecat Soemitro dari jabatan Pangkopkamtib. Soeharto juga membubarkan lembaga Aspri dan Ali Moertopo dipindah tugas sebagai Wakil Kepala Bakin.

Pencopotan jabatan juga terjadi pada orang-orang terdekat Soemitro. Sutopo Juwono, dikenal sebagai “orangnya Soemitro”, dicopot dari jabatan Kepala Bakin. Soeharto lalu memanggil Yoga Sugama yang tengah menjadi perwakilan Indonesia di PBB untuk menggantikannya.

Di sisi lain, beberapa media massa terkena imbasnya peristiwa Malari. Pemerintah orde baru membredel Harian Abadi, Pedoman, Indonesia Raya, Harian KAMI, dan The Jakarta Times karena dianggap memberikan proporsi berita berlebihan dan memanaskan suasana. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA