Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Cacat Logika, Revisi UU KPK Sudah Menjadi Kebutuhan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Senin, 20 Januari 2020, 17:51 WIB
Cacat Logika, Revisi UU KPK Sudah Menjadi Kebutuhan
Komisi Pemberantasan Korupsi/Net
rmol news logo Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi diawal tahun 2020 yang berhasil mengungkap kasus korupsi Bupati Sidoarjo Saifullah dan kasus korupsi PAW Anggota DPR RI PDIP dengan tersangka Komisioner KPU, Wahyu Setiawan menjadi sorotan

Peneliti Senior LP3ES Malik Ruslan berpendapat, kinerja KPK dibawah kepemimpinan Firly Bahuri Cs, suka tidak suka disebut berjalan dibawah payung hukum yang cacat logika.

Pasalnya, KPK diharapkan menjalankan peran dan fungsinya sebagai lembaga super body, yang tidak bisa dicampuri oleh oknum diluar. Namun dilain sisi, KPK justru menghadapi situasi hukum dan politik hukum yang tidak ideal.

"Mengingat UU 19/2019 yang merupakan payung hukum KPK itu sendiri terlahir dari proses yang cacat dan dengan konten yang menunjukkan inkonsistensi bahkan cacat logika," kata Malik dalam diskusi daring di Whatsapp Group 'Jurnalisme & Demokrasi', Minggu (19/1).

Kekacauan logika penyusunan UU KPK yang baru ini, disebutkan Malik, menjadi problem yang sangat serius. Apalagi jika melihat ketidaksesuaian antara narasi batang tubuh UU 19/2019 dengan isi penjelasannya yang terkesan memperlemah.

Malik menjabarkan perbedaan itu terletak pada aline kedua UU ini yang berbunyi, “...dan karena itu tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”.

"Jika batang tubuh UU 19/2019 tersebut disandingkan dengan narasi penjelasannya, terlihat ada kesenjangan sangat lebar di antara keduanya," jelasnya.

Lebih lanjut, Malik memberikan contoh aktual dari ketidaksesuain batang tubuh UU dengan isi penjelasannya. Dimana, kegagalan KPK melakukan penggeledahan Kantor DPP PDIP ialah karena mesti mengantongi izin terlebih dahulu dari Dewas.

"Karena adanya inkosistensi berpikir dan kekacauan logika dalam UU KPK yang baru itu, maka revisi atas UU 19/2019 tersebut menjadi sebuah kebutuhan. Ini cara lain untuk menghentikan narasi pelemahan KPK yang sudah terbukti (aktual) dari gagalnya KPK melakukan penggeledahan Kantor DPP PDIP beberapa waktu lalu," katanya.

"Maka, kelahiran UU 19/2019 merupakan bukti dari pelemahan KPK secara sempurna," demikian Malik. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA