Diketahui sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta kepada semua pihak bersyukur dan tidak kufur nikmat terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah ekonomi global yang tidak stabil.
"Ini retorika politik terbaik dari presiden di periode keduanya. Di tengah fakta pelemahan ekonomi Indonesia, presiden berargumentasi tentang dimensi penting psikologis bangsa Indonesia yang religius, yaitu soal arti penting 'bersyukur' yang '
internalized' dengan budaya timur kita," kata Direktur Survei and Polling Indonesia (SPIN), Igor Dirgantara kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (10/2).
Selain mahir mengambil psikologis masyarakat berdasarkan sisi agama, Presiden Jokowi juga cukup lihai menggunakan istilah bersyukur jika merujuk pada perbandingan pertumbuhan ekonomi negara lain.
"Indonesia dipandang perlu bersyukur jika merujuk pada perbandingan negara-negara G20, di mana Indonesia termasuk di dalamnya. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia dikatakan masih lebih bagus," jelasnya.
Namun demikian, jelas Igor, hal itu bukan menjadi alasan seorang presiden untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam membangun perekonomian.
"Dalam konteks bernegara, ungkapan presiden perlu dipertanyakan, apakah layak warga negara bersyukur terhadap kegagalan janji penguasa? Karena rasa bersyukur seyogianya tidak boleh dijadikan pembenaran atas ketidakmampuan presiden dan kabinetnya," sambungnya.
Pernyataan tersebut juga secara tidak langsung mengungkap kejujuran presiden terhadap pertumbuhan ekonomi yang tak kunjung sesuai target.
"Ungkapan 'jangan kufur nikmat' terkait pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stagnan di angka 5% itu sebenarnya bentuk pengakuan jujur dari presiden adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi pada 2019," tutupnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: