Soal kebijakan itu, anggota Komisi IV DPR RI Darori Wonodipuro mempertanyakan asas transparansi Kementan dalam pemberian RIPH.
Padahal, menurutnya, persoalan ketidaktransparanan itu juga menjadi pemicu kegaduhan saat DPR mengundang berbagai pihak, termasuk asosiasi terkait bawang putih.
"Itukan diributin waktu kita ngundang asosiasi. Jadi RIPHnya pilih-pilih tidak transparan. Banyak yang tidak dapat. Harusnya transparan terbuka saja. Waktu RDP asosiasi pada protes. Perusahaan yang bagus dikasih, yang tidak bagus, jangan," kata Darori kepada wartawan, Selasa (11/2).
Menurutnya, Kementan seharusnya juga berbincang bersama dengan asosiasi untuk menelisik perusahaan yang mengajukan RIPH. Kementerian dinilainya kurang tegas dalam pengawasan.
"Jadi, kementan harus transparan dan terbuka," dia menekankan.
Selain itu, politisi Partai Gerindra ini juga menilai ada peraturan menteri yang aneh. Perubahan peraturan menjelang pergantian menteri harusnya diselisik dan diklarifikasi penerapannya terhadap importir.
"Harusnya kan importir wajib menanam 5 persen dari rencana. Nah, sekarang terbalik. Nanamnya nanti. Kalau saya usulkan ada jaminan dalam tanaman bawang. Jadi importir deposit uang seluas rencana tanamannya," tegasnya.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Liliek Srie Utami mengatakan, proses RIPH bawang putih sudah diajukan para importir sejak pertengahan November 2019 lalu.
Menurut Liliek, keluarnya RIPH 103 ribu ton bawang itu juga bukan keputusan dadakan.
Dia memastikan, penerbitan RIPH bukan tiba-tiba karena ada rapat koordinasi bersama Kementerian Perdagangan dan Kantor Staf Presiden pada Kamis (6/2).
"Kami memproses (RIPH) sejak 15 November 2019, jadi tidak serta merta dikeluarkan," ujarnya.
Sedangkan untuk daftar importir yang memiliki kuota, serta besarannya, dia mengaku tidak memegang datanya secara detail.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: