Pengamat intelijen dan terorisme, Stanislaus Riyanta, mengatakan, meskipun pemerintah sudah memutuskan bahwa anggota ISIS eks WNI tidak akan dipulangkan dengan pertimbangan keamanan, namun demikian data detail dari 689 orang tersebut harus dimiliki pemerintah.
Ini sebagai implikasi dari menolak anggota ISIS eks WNI tersebut pulang ke Indonesia. Salah satunya adalah mereka akan menjadi urusan pihak lain, termasuk pihak internasional.
"Jika sudah menjadi urusan internasional maka asal negara dari anggota ISIS eks WNI tersebut pasti akan dilibatkan dalam penanganan dan pengawasan," ujarnya kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (13/2).
Jika tidak bisa kembali menjadi WNI, maka anggota ISIS eks WNI ini tidak mempunyai kewarganegaraan. Status ini sangat rentan, walaupun itu merupakan konsekuensi pilihan mereka karena telah meninggalkan tanah air dan bergabung dengan ISIS.
"Mereka tetap harus diwaspadai karena bisa saja secara ilegal masuk ke Indonesia," himbau Stanislaus.
Untuk menghindari ancaman tersebut maka pemerintah tetap harus memantau anggota ISIS eks WNI tersebut. Jangan sampai ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan situasi ini untuk mengganggu stabilitas keamanan dengan mengirim anggota ISIS eks WNI ke Indonesia.
Selain itu, potensi adanya aksi balas dendam yang dilakukan oleh kelompok radikal sangat mungkin terjadi. Kelompok radikal tersebut kemungkinan akan sakit hati dan kecewa kepada pemerintah karena teman, keluarga atau bagian dari kelompoknya yang Timur Tengah tidak difasilitasi untuk kembali ke Indonesia.
Ketegasan pemerintah untuk menolak kembalinya anggota ISIS eks WNI diharapkan menjadi peringatan bagi kelompok radikal bahwa pemerintah Indonesia punya sikap tegas.
"Tentu saja pertentangan akan terjadi termasuk jika dihadapkan perspektif kemanusiaan dan HAM," pungkasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: