Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Agama Memayungi Konstitusi Sudah Final, Tidak Boleh Ada Tafsiran Baru Kepala BPIP Yang Liberal

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Sabtu, 15 Februari 2020, 14:58 WIB
Agama Memayungi Konstitusi Sudah Final, Tidak Boleh Ada Tafsiran Baru Kepala BPIP Yang Liberal
Anton Tabah Digdoyo/Net
rmol news logo Setelah 'agama menjadi musuh terbesar Pancasila', pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi terbaru 'dalam bernegara harus beralih dari kitab suci kepada konstitusi' juga menuai kontroversi.

"Yang bilang agama harus ikuti konstitusi itu paham liberal, tidak sesuai ideologi Pancasila," kata anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat, Anton Tabah Digdoyo saat dihubungi redaksi, Sabtu (15/2).

Dia menyarankan agar Yudian membaca fatwa Mejelis Ulama Indonesia (MUI) pada Juli 2005 yang berisi paham liberalisme kontra pancasila.

"Yang berpaham liberal tak layak menjadi pembina ideologi Pancasila," sindir Anton Tabah kepada Rektor UIN Yogyakarta yang baru dilantik sebagai Kepala BPIP itu.

"Orang-orang liberal pasti akan ubah Pancasila agar tak seperti yang di Pembukaan UUD taggal 18 Agustus 1945 diganti versi 1 Juni 1945 yang sila pertama jadi sila kelima, presis pola pikir BPIP saat ini," tambahnya.

Apalagi, lanjut Anto Tabah, begitu Joko Widodo jadi Presiden, dia membuat Perpres Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1945, bukan 18 Agustus 1945, bahkan 1 Juni dijadikan hari libur nasional. Rakyat pun makin curiga ini langkah awal akan ubah Pancasila sesuai 1 Juni 1945.

"Historis. Rumusan Pancasila 15 Juni 1945 sudah ditolak pada sidang BPUPK dan sepakat tetapkan yang 18 Agustus 1945 seperti tersurat di Pembukaan UUD 1945," tuturnya.

Dan jika merujuk ijma, maka sudah final dan diperkokoh Pasal 29, NKRI itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini bermakna semua perilaku WNI tanpa kecuali dalam berindividu, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus dalam bimbingan Tuhan Yang Maha Esa, yaitu agama dengan kitab sucinya juga dalam tiap membuat kesepakatan ijma termasuk UU harus dalam bimbingan Tuhan Yang Maha Esa.

"Agama cq kitab suci memayungi konstitusi, tak boleh ada konstitusi yang kontra agama. Karena itulah NKRI menolak LGBT, atheis, komunis, dan paham-paham kontra agama lainnya. Ijma ini sudah final, tidak boleh ada ijma baru apalagi tafsiran baru pribadi Yudian yang liberal tersebut," ujar Anton Tabah.

"Membentuk negara hukum (Pasal 1 UU D45). Macam apa negara hukum dibangun? Negara hukum yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa yang kata Thomas Aquinas, hukum yang direproduksi melalui lembaga-lembaga suprastruktur dan infrastruktur (human law) dijiwai nilai ketuhanan dipengaruhi kitab suci (scripture) dan yang lekat dengan alam natural law atau sunatulloh," tuturnya menambahkan.

Dengan demikian, terang Anton Tabah, dengan logika sederhanapun, mudah memahami dan menerima secara nalar bahwa kitab suci itu berada di atas konstitusi.

"Bila penalaran ini kita tarik garis lurus logikanya adalah, konstitusi tak boleh kontra dengan kitab suci. Inilah hasil ijma bangsa Indonesia, sepakat dengan demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal, sekuler, atheis, dan komunis," pungkas mantan petinggi Polri ini. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA