Kepastian hukum tentang hak-hak pekerja dianggap oleh kaum buruh sebagai suatu yang tidak diatur di RUU ini, sehingga mereka bersikap menolak mentah-mentah.
Semua tuntutan serikat buruh itu wajar, menurut akademisi bidang negara, kesejahteraan dan sosial dari University of California, Berkeley, Sirojudin Abbas.
Tapi dia mengatakan, beleid baru ini diharapkan mampu menjawab persoalan kesejahteraan masyarakat yang dituntut oleh kaum buruh tersebut.
"Selama ini, kenyamanan bekerja dan jaminan sosial hanya dinikmati oleh sejumlah kecil angkatan kerja di sektor formal," ungkap Direktur Eksekutif Saiful Mudjani Reserch and Consulting (SMRC) ini, saat dihubungi
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (27/2).
Sementara, lanjut Sirojudin Abbas, pekerja tidak tetap atau pekerja outsource dan pekerja sektor informal tidak mendapatkan kepastian kesejahteraan.
"Padahal mayoritas pekerja, hampir 60 persen, ada di sektor ini (sektor informal)," jelasnya secara lugas.
Adapun terkait tuntutan kaum buruh, Sirojudin Abbas berpandangan bahwa hal itu sebagai suatu hal yang wajar. Akan tetapi, dia mengimbau agar kaum buruh di Indonesia tidak takut atas aturan baru ini.
"Kritik mereka bisa dimengerti dan wajar. Tetapi mereka juga perlu melakukan kompromi demi kepentingan lebih besar. Yakni kemudahan bagi perusahaan untuk membuka kesempatan kerja formal (yang bukan outsource) lebih besar dengan standar jaminan sosial yang standar pula," pungkasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.