Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tiga Penyebab Defisit BPJS Kesehatan Versi KPK, Sudah Dilaporkan Tapi Tak Ditanggapi Pemerintah

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Sabtu, 14 Maret 2020, 05:50 WIB
Tiga Penyebab Defisit BPJS Kesehatan Versi KPK, Sudah Dilaporkan Tapi Tak Ditanggapi Pemerintah
Komisioner KPK, Nurul Gufron/Net
rmol news logo Defisit BPJS Kesehatan masih membayangi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Apalagi, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun ternyata sudah melakukan kajian atas penyebab defisit pada BPJS Kesehatan. Seperti halnya langkah menaikkan iuran BPJS Kesehatan yang dilakukan pemerintah justru salah.

"Dalam kajian KPK, belum tentu ketika dinaikkan iuran BPJS-nya menjadi solusi kekurangan defisit BPJS yang diklaim 2019 itu sebesar Rp 12,2 triliun," ucap Komisioner KPK, Nurul Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat malam (13/3).

KPK sendiri mengaku telah melakukan kajian pada 2014 lalu. Hasilnya, ditemukan banyak kendala yang mengakibatkan BPJS Kesehatan defisit. Setidaknya, ada tiga hal yang mempengaruhi defisit pada BPJS Kesehatan. Pertama persoalan moral hazard peserta mandiri.

"Dari peserta mandiri BPJS memiliki iktikad tidak baik sehingga peserta mandiri (PBPU) banyak yang menggunakan layanan JKN dan menunda iuran," jelas Nurul Ghufron.

Ia menjelaskan, banyak peserta mandiri yang hanya melunasi utang iuran BPJS Kesehatan untuk dapat menikmati pelayanan saat sedang sakit. Namun ketika sudah sembuh, peserta mandiri tersebut tidak lagi melanjutkan pembayaran iuran.

"Pada tahun 2018, total defisit JKN mencapai Rp 12,2 triliun. Jumlah tersebut disebabkan oleh tunggakan iuran peserta mandiri sebesar Rp 5,6 triliun atau sekitar 45 persen," ungkap Ghufron.

Faktor kedua adalah persoalan over-payment dari pihak Rumah Sakit (RS). Dijelaskan, banyak kasus RS tidak sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh BPJS Kesehatan. Di antaranya soal fasilitas dan sarana prasarana.
 
"Misalnya kelasnya sebenarnya kelas 2, tetapi diklaim rumah sakit yang direkomendasi oleh Dinas Kesehatan setempat itu banyak dianggap sebagai kelas di atasnya," terang Ghufron.

Faktor yang ketiga berasal dari adanya kecurangan di lapangan atau fraud. Fraud yang dimaksud ialah melakukan up-coding dalam analisa, re-administrasi phantom billing dan unbundling.

"Misalnya orang sakit seharusnya seminggu belum sembuh, tapi dibatasi hanya satu minggu. Makan seminggu itu belum sembuh dipaksa untuk keluar. Satu,dua hari masuk lagi. Sehingga seakan-akan menjadi klaim ulang terhadap penyakit yang sama terhadap seseorang peserta yang sama," tuturnya.

Diakui, KPK telah menyampaikan kepada pemerintah bahwa menaikan iuran BPJS Kesehatan tidak akan menyelesaikan persoalan defisit jika faktor sesungguhnya tidak segera diatasi.

"Sebelum sistem pelayanan BPJS itu diverifikasi secara benar, baik dari pesertanya, rumah sakit, maupun pengaderisasian penyakit tersebut. Rekomendasi perbaikan selain menaikkan iuran itu sebagaimana dibatalkan oleh Mahkamah Agung," pungkas Ghufron. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA