Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jika Ngotot Bangun Ibukota Baru Di Saat Darurat, Berarti Jokowi Condong Pada Ambisi Hampa

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Minggu, 22 Maret 2020, 08:51 WIB
Jika Ngotot Bangun Ibukota Baru Di Saat Darurat, Berarti Jokowi Condong Pada Ambisi Hampa
Ubedilah Badrun/Net
rmol news logo Pemerintahan Joko Widodo-Maruf Amin diminta mengalihkan anggaran pemindahan ibukota baru untuk penanganan wabah virus corona baru atau Covid-19 yang semakin meluas.

Direktur Eksekutif Center for Social, Political, Economic and Law Studies (CESPELS), Ubedilah Badrun menguraikan bahwa rencana pemerintah untuk memindahkan ibukota dilakukan pada saat ekonomi sedang memburuk.

Di satu sisi, tidak ada riset utuh secara ilmiah tentang pemindahan ibukota, tidak pernah juga diucapkan dalam janji kampanye Jokowi saat Pilpres 2014 maupun saat Pilpres 2019.

“Ide pemindahan ibukota itu muncul ketika ekonomi memburuk. Itu proyek besar yang diasumsikan akan membuka ratusan ribu tenaga kerja," ujarnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (23/3).

Bahkan, kata analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini, Jokowi memunculkan kembali ide lama era Soeharto yang gagal tersebut di saat kondisi ekonomi pemerintahannya stagnan hingga impor minus miliaran dolar

"Di saat yang sama pembiayaan pindah ibukota tidak punya, dia (Jokowi) berharap sepertiga dari biaya berasal dari APBN sisanya dari jual aset dan dari investor," kata Ubedilah.

Namun, kata Ubedilah, kini situasi semakin memburuk hingga efisiensi semua kementerian dilakukan untuk dialihkan tangani Covid-19.

“Artinya, jika Jokowi ngotot melanjutkan bangun ibukota baru dan anggarannya tidak boleh diganggu untuk tangani Covid-19, itu berarti hati Jokowi lebih condong pada ambisi hampa, bukan pada nyawa rakyat Indonesia yang terancam," tegas Ubedilah.

Bahkan, kata Ubedilah, jika Presiden Jokowi tetap ngotot untuk melanjutkan pembangunan ibukota di saat darurat ini, maka Presiden Jokowi juga akan dipandang mengabaikan pandangan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.

"Saya kira mayoritas ilmuwan sudah mengingatkan. Jika tetap jalan, kesimpulannya kebijakan itu mengabaikan pandangan ilmu pengetahuan dan pandangan kebijaksanaan (wisdom)," jelasnya.

"Itu juga artinya memimpin bukan berdasar knowledge to policy tetapi ambition to policy. Ya silakan saja. Kita tunggu akhir dari ambisi itu," pungkas Ubedilah. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA