Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Rizki Azmi: Surat Telegram Kapolri Bisa Kekang Demokrasi Di Tengah Wabah Virus Corona

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Selasa, 07 April 2020, 18:46 WIB
Rizki Azmi: Surat Telegram Kapolri Bisa Kekang Demokrasi Di Tengah Wabah Virus Corona
Ilustrasi/Net
rmol news logo Surat Telegram Kapolri nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 dianggap sebuah aturan yang mengekang demokrasi, kebebasan berpendapat dan berbicara dalam situasi pandemi virus corona atau Covid-19.

Direktur Legal Culture Institute (LeCI), M. Rizki Azmi mengatakan, peraturan tentang penghinaan pimpinan negara serat pasal kebencian telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006 tentang dihapusnya pasal 134, 136bis dan 137 KUHP.

Sedangkan putusan MK nomor 6/PUU-V/2007 menyatakan pasal 154 dan 155 KUHP dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Selain itu, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP telah dibatalkan karena menghalang-halangi kemerdekaan menyatakan pikiran dan sikap serta pendapat sehingga bertentangan dengan Pasal 28 dan 28 E Ayat (2) dan (3).

"Pasal-pasal yang telah di hapuskan oleh MK tersebut di atas terus-menerus selalu di hidupkan oleh penguasa baik dalam regeling peraturan perundang-undangan seperti RKUHP tentang penyerangan martabat presiden dan wakil presiden maupun beschiking seperti Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020," ucap M. Rizki Azmi melalui keterangan tertulis, Selasa (7/4).

Surat Telegram Kapolri yang ditandatangani oleh Kabareskrim Polri, Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo tersebut, kata Rizki, dikombinasikan dengan Pasal 27 UU ITE tentang pendistribusian konten terkait pencemaran nama baik.

"Hal ini yang membuat proses demokrasi dan kepercayaan terhadap kedaulatan rakyat seakan-akan pudar dan seakan-akan penguasa paranoid diperparah lagi dengan penanggulangan Covid-19 ini dengan mempersiapkan darurat sipil," katanya.

Pasal 207 KUHP dalam Surat Telegram Kapolri nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tentang siber, lanjutnya, tidak bisa serta merta menjadi delik umum yang bisa ditindak langsung.

"Pasal 207 KUHP yang dipakai dalam surat telegram tersebut tidak serta merta menjadi delik umum yang bisa di tindak langsung oleh penegak hukum, namun perlu adanya aduan dari penguasa dan pejabat pemerintah yang dituju," bebernya.

Dengan demikian, Surat Telegram Kapolri tersebut sangat tidak tepat di saat darurat Covid-19 yang memungkinkan banyak orang menyampaikan keluh kesah.

"Dalam masa darurat Pandemi semua orang pasti banyak berkeluh kesah dan mengkritik lewat media," katanya.

"Oleh karena itu kami menyarankan kepada pemerintah bahwasanya momen ini harus di pakai untuk konsolidasi nasional bukan untuk mengintimidasi pendapat-pendapat yang seharusnya menjadi pertimbangan dan vitamin pemerintah dalam mengambil kebijakan tepat dalam mengahalau menyebarnya pandemi ini," pungkasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA