Salah satunya adalah pengamat kebijakan publik dari Center of Public Policy Studies (CPPS), Bambang Istianto, yang menilai keputusan Erick Thohir merupakan cermin kualitas demokrasi yang lemah, khususnya di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo kali ini.
"Kebijakan Menteri BUMN mencopot Refly Harun memiliki implikasi luas terhadap persepsi publik, tentang tata kelola pemerintahan yang demokratis," ungkap Bambang Istianto kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (23/4).
Lebih lanjut, lulusan S2 FISIP Universias Indonesia ini berpandangan bahwa Refly Harun kerap tampil kritis terhadap kebijakan pemerintah di muka publik. Padahal di satu sisi, dia telah menjabat sebagai Komut PT Pelindo, yang notabene berada di lingkaran pemerintah.
Sehingga, Bambang Istianto melihat sesuatu hal yang berbeda dari sosok pakar hukum tata negara itu. Sebab katanya, jika Refly Harun dibandingkan dengan Fadjroel Rachman yang diangkat sebagai Jurubicara Presiden, nampak satu sikap yang berbeda.
"Refly Harun meskipun sudah pada posisi yang nyaman, tetap masih bersuara kritis," ujarnya.
Berdasarkan hal tersebut, sosok penulis buku
Potret Buram Politik Indonesia ini berkesimpulan, pecat-memecat yang ada di Kementerian BUMN telah menjadi suati kebiasaan yang salah dalam birokrasi pemerintah.
"Cara membungkam tokoh berpengaruh yang kritis terhadap pemerintah, cara membujuknya diberi posisi yang nyaman, seperti kedua tokoh di atas. Padahal, penyelenggaraan pemerintahan harus tunduk pada konstitusi yang berpegang azas demokrasi," sebut Bambang Istianto.
"Untuk itu, kontrol publik suatu keniscayaan. Tugas pakar memang memberikan kritik dan solusi terhadap apa yang dikerjakan pemerintah," tutupnya menambahkan.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: