Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kemendikbud Gagap Melakukan Transformasi Pendidikan Di Tengah Pandemik Covid-19

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Minggu, 03 Mei 2020, 08:28 WIB
Kemendikbud Gagap Melakukan Transformasi Pendidikan Di Tengah Pandemik Covid-19
Diskusi Transformasi Pendidikan di Era Pandemik Covid-19/Net
rmol news logo Wabah virus corona menimbulkan goncangan dan sumber ketidakpastian bagi kehidupan manusia. Karena sampai sekarang, masih belum ditemukan vaksin anti virus kapan pandemik Covid-19 ini berakhir.

Disisi lain, Covid-19 mendorong dunia pendidikan untuk bersiap dan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Proses pembelajaran model daring (dalam jaringan) menggunakan teknologi 4.0 yang dulu masih dianggap angan-angan, kini dengan Covid-19 kita dipaksa dan dipercepat harus menggunakan teknologi 4.0 dalam kegiatan pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Sementara itu, pemerintah cq Kemendikbud terlihat sangat gagap dan gamang menghadapi perubahan ketidakpastian dalam situasi Covid-19. Mendikbud Nadiem Makarim yang berlatar belakang praktisi teknologi 4.0, dianggap sukses ketika masuk dalam dunia bisnis, tapi menjadi gamang dan gagap ketika masuk dunia pendidikan melakukan migrasi pembelajaran dari offline menjadi online (daring) dengan hanya lebih mengedepankan pengajaran isi. Masyarakat menilai pemerintah gagal melakukan transformasi pendidikan dalam situasi pandemik.

Demikianlah benang merah dari diskusi webinar 'Transformasi Pendidikan di Era Pandemik Covid-19' yang diselenggarakan oleh Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PP KB PII), Sabtu malam (2/5). Diskusi yang juga dihadiri Menko PMK Muhadjir Effendy ini dilakukan dalam rangka menyambut Hardiknas 2020 di tengah pandemik Covid-19 yang diikuti oleh ratusan peserta aktivis PII dan KB PII dari seluruh wilayah Tanah Air.

Dalam diskusi, Rektor IPB, Arif Satria mengatakan, hikmah di balik wabah corona mendorong masyarakat untuk menjadi pembelajar yang lincah dengan pola pikir yang terus berkembang (growth mindset) bukan pola pikir yang tetap (fixed mindset).

Mengutip pandangan Alvin Toffler, bahwa kebodohan abad 21 bukanlah orang yang tidak bisa baca dan tulis, tapi mereka yang tidak mampu belajar, tidak bisa menjadi pembelajar untuk melakukan proses adaptasi terhadap perubahan yang terjadi secara cepat.

Arif Satria juga mengingatkan bahwa persoalan Covid-19 hanya bisa diselesaikan dengan pendekatan sains, bukan pendekatan politis. Oleh sebab itu, kebijakan publik terkait penanggulangan Covid-19 harus bisa merubah paradigma pendekatannya berbasis pada sains.

Sedangkan anggota Komisi X DPR RI Prof. Zainuddin Maliki lebih menyoroti soal ketertinggalan dan kegagalan bangsa Indonesia dalam mengantisipasi ledakan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge explosion) yang melahirkan kompleksitas yang luar biasa. Ketertinggalan ini terjadi karena bangsa ini tidak pernah serius mengurus persoalan pendidikan sejak dulu sampai sekarang.

Sistem pendidikan dan kurikulum pendidikan yang ada sekarang, hanya bisa menghasilkan lulusan yang seolah-olah, sehingga tidak punya kompetensi yang jelas, tidak mampu berpikir kreatif, inovatif, adaptif terhadap perubahan, lulusan yang mampu berpikir solutif mengatasi persoalan.

Oleh sebab itu model penilaian pembelajaran yang lebih mengedepankan score test dengan standarisasi yang baku dan kaku, menjadi kurang relevan untuk bisa bersaing menghadap perubahan dan ketidakpastian yang semakin cepat.

Zainuddin Maliki juga menyoroti kebijakan anggaran pendidikan 20 persen sebagaimana amanat UU hanya bersifat semu. Karena 20 persen dari APBN tidak semuanya diterima dan digunakan oleh satker dunia pendidikan, tapi juga dihitung dari anggaran K/L lain yang juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan kedinasan. Apalagi dalam situasi pandemik ini, pemerintah melakukan pemotongan anggaran pendidikan sampai Rp 4,9 triliun untuk penanggulangan.

Menurut Zainuddin Maliki, seharusnya jumlah sebesar itu harus kembali digunakan untuk penanggulangan Covid-19 pada sektor pendidikan, karena sektor ini juga sangat terdampak dengan Covid-19.

Sementara itu, Rita Pranawati dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengkritisi kebijakan Kemdikbud terkait Program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang dianggap kurang efektif. Masyarakat mengalami keterkejutan (shock) dengan perubahan pola pembelajaran. Orang tua diharapkan bisa melakukan pendampingan dalam pross PJJ.

Kompleksitas lainnya adalah tidak semua kondisi orang tua siswa memiliki kemampuan mengakses teknologi 4.0, selain itu juga masih ada kekhawatiran orang tua terhadap penggunaan gadget pada anak karena kecanduan game dan pornografi, tapi sekarang malah dipaksa untuk terbiasa menggunakan gadget dalam proses pembelajaran.

Hasil survei dari KPAI menjelaskan bahwa ada 76,7 persen siswa mengaku tidak senang dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), dan ada 81,8 persen siswa mengaku proses PJJ lebih menekankan pada pemberian tugas, PR, tanpa ada proses dialog dan menjelaskan materi, diskusi atau tanya jawab.

Liburan panjang karena Covid-19 semula dianggap menyenangkan, tapi karena terlalu lama membuat rasa kebosanan. Disis lain guru juga kurang bisa memanfaatkan dan mengoptimalkan proses pengajaran selain juga keterbatasan dalam hal literasi digital.

Adapun Menko PMK Muhadjir Effendy, dia melihat bahwa upaya pemerintah dalam penanganan Covid-19 tidak semata-mata urusan ekonomi dan mengabaikan sektor lainnya. Besarnya alokasi anggaran Rp 200 triliun untuk sektor ekonomi diantaranya untuk menopang sektor UMKM.

Muhadjir mengakui bahwa pada krisis 1997-1998, UMKM memang tangguh menghadapi badai krisis, tapi pada wabah pandemik saat ini, sektor UMKM juga ikutan ambruk. Oleh sebab itu, pemerintah tidak ingin UMKM juga ikutan collapse di tengah badai corona. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA