Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Esensi PSBB Untuk Kurangi Kerumunan Orang, Dedi Mulyadi: Kalau Toko Ditutup Kenapa Pasar Masih Dibuka?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Rabu, 13 Mei 2020, 13:00 WIB
Esensi PSBB Untuk Kurangi Kerumunan Orang, Dedi Mulyadi: Kalau Toko Ditutup Kenapa Pasar Masih Dibuka?
Dedi Mulyadi kritisi persepsi PSBB yang masih keliru dalam penerapan di lapangan/RMOLJabar
rmol news logo Anggota DPR RI, Dedi Mulyadi, setuju dengan pernyataan Kepala BNPB, Doni Munardo, bahwa penanganan pandemik Covid-19 diserahkan kepada kebijakan daerah masing-masing.

Menurut Dedi, penanganan corona dengan berbasis kearifan lokal semestinya dari dulu sudah disampaikan. Sehingga, setiap daerah tidak serta merta meniru cara penanganan Covid-19 di daerah lain.

Sebab, kultur antara kota dan kabupaten yang mayoritas desa adalah sangat berbeda. Gaya kepemimpinannya pun berbeda.

“Misalnya, kalau Gubernur DKI bisa total menggerakkan seluruh stakeholder di sekitarnya karena kulutur alamnya homogen. Kultur alamnya ya, bukan manusianya,” kata Dedi, Rabu (13/5).

Menurutnya, di DKI Jakarta semua perangkat dari mulai walikota hingga lurah merupakan bawahan Gubernur atau di bawah komandonya. Sehingga seorang gubernur mampu menggerakkan mereka untuk sama-sama menjalankan kebijakan yang sama.

Sementara di daerah, walikota dan bupati merupakan kepemimpinan otonom karena mereka dipilih oleh rakyatnya masing-masing. Sehingga mereka memiliki cara tersendiri dalam penanganan corona.

Dedi menambahkan, cara penanganan corona tidak mesti harus dengan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sebab, dengan PSBB banyak yang harus dikorbankan dan cara itu dinilainya tidak efektif.

Menurutnya, PSBB cocok diterapkan di perkotaan. Namun demikian, kalaupun PSBB diterapkan, pasar di kota tetap harus berjalan karena itu merupakan tempat penjualan produk masyarakat desa.

Namun tentu saja, aspek tata kelolanya sesuai dengan protokol WHO, yakni social distancing, physical distancing, memakai masker, dan lain-lain.

“Tapi yang di Jakarta jangan pergi ke daerah kalau punya risiko tinggi, karena orang desa harus terjaga produksinya pertaniannya agar suplai logistik untuk kota yang sedang PSBB berjalan dengan baik, tidak terganggu sehingga kebutuhan bahan makanan terpenuhi,” ujar Dedi Mulyadi, dikutip Kantor Berita RMOLJabar.

Kemudian di daerah, kata Dedi, PSBB itu sebenarnya fokus pada seleksi ketat terhadap pendatang dari luar kota. Masyarakat di daerah harus dibentengi, tetapi regulasi ekonomi tetap jalan. Pasar dan toko harus buka.

Namun pendekatan kultur berbasis RT dan RW jadi standarisasi utama dalam menangani corona, sehingga rapid test dan swab test harus dilakukan secara masif.

“Alat tesnya harus ada di kecamatan sehingga setiap hari orang di kampung diperiksa. Orang dari luar dikunci. Kalau ada isolasi, jangan di gedung di kota, manfaatkan yang ada di desa, seperti balai desa, balai RW, gedung sekolah dan lainnya,” sebut mantan Bupati Purwakarta itu.

Dedi mengaku, ia melihat pelaksanaan PSBB saat ini aneh. Misalnya aparat fokus tutup isolasi kota, tetapi orang tetap keluar dari gang-gang kecil hingga akhirnya mereka menumpuk di pinggiran sekitar pusat kota hingga menyebabkan kemacetan.

Menurutnya, esensi PSBB untuk mengurangi lalu lalang orang agar tidak terjadi kerumunan justru terbalik. Ini malah pemindahan arus kemacetan dari pusat kota ke pinggiran dan itu terjadi di mana-mana. Selain itu, PSBB saat ini adalah petugas sibuk menutup toko, sementara pasar tetap buka.

“Esensi PSBB itu kan mengurangi kerumunan manusia. Pertanyaan saya, kalau pasar tetap buka sementara toko tutup, lebih tinggi mana interaksi desak-desakan orang antara di pasar dengan di toko? Jelas lebih tinggi di pasar,” jelasnya.

Menurut Dedi, PSBB itu seharusnya bukan menutup toko melainkan mengurangi orang belanja. Saat ini, tanpa PSBB pun, toko tidak banyak dikunjungi orang karena takut tertular wabah corona.

Dedi mengusulkan bahwa meski PSBB diterapkan, toko dan pasar tetap dibuka, sehingga kebijakan pembatasan ini tidak berimplikasi lebih luas pada hilangnya mata pencahrian warga.

“Saya itu ketemu setiap orang dari sopir angkot, pedagang. Ekonomi mereka anjlok, mereka jadi pemulung. Ini akibat salah kelola dan persepsi dalam penerapan PSBB,” demikian Dedi Mulyadi. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA