Begitu tegas aktivis 98, Edysa Girsang dalam sebuah video yang merefleksikan perjalanan 22 tahun reformasi. Video ini ditonton
Kantor Berita Politik RMOL pada Kamis (21/5).
Edysa Girsang juga menyebut banyak catatan pelanggaran HAM yang menjadi refleksi para mahasiswa untuk bergerak melakukan dengan aksi massa dan mengakspresikan kedaulatan rakyat
“Misalnya kasus Tanjung Priok, Talang Sari,†ujar pendiri Forum Kota (Forkot) itu.
“Parlemen juga bungkam dan menjadi bagian kaki tangan pemerintah,†sambungnya.
Namun demikian, setelah reformasi berjalan selama 22 tahun, ternyata harapan aktivis 1998 tidak sesuai kenyataan. Sebaliknya, kemunduran parah justru yang mereka rasakan.
Edysa Girsang menilai bahwa pemerintah hari ini tidak bisa mengontrol kebutuhan pokok masyarakat. Kritik yang disuarakan justru diangap sebagai sebuah ancaman atau permusuhan.
“Pemerintah membiarkan pross deharmonisasi, misalnya dengan menciptakan idiom konflik, katanya idealisme versus radikalisme. Ini yang akhirnya mendorong intoleransi,†sambungnya.
“Situasi ini malah lebih berbahaya dari pada Orde Baru,†tegas Edysa Girsang.
Secara kebijakan, Edysa Girsang menyoroti penerbitan Perppu 1/2020, UU Minerba dan sebagainya yang pengesahannya berjalan mulus di DPR, seolah rezim ini sedang tidak memiliki kontrol.
Uniknya lagi, DPR diam saja saat hak budgeting dan controling diamputasi eksekutif lewat Perppu Corona.
“Ini yang saya bilang lebih parah dari orde baru,†sambungnya.
DPR, lanjutnya, juga tidak segera melakukan pemanggilan terhadap eksekutif, karena di situasi pandemik ini beban rakyat bertambah seiring kenaikan iuran BPJS. Apalagi konstitusi sebenarnya menggratiskan, bukan menaikkan pajak.
Atas dasar itu semua, Edysa Girsang menyimpulkan bahwa apa yang dicita-citakan di tahun 1998 sangat jauh dari harapan.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: