Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kesiapan New Normal Di Indonesia Terbilang Masih Mentah

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/faisal-aristama-1'>FAISAL ARISTAMA</a>
LAPORAN: FAISAL ARISTAMA
  • Jumat, 29 Mei 2020, 12:05 WIB
Kesiapan New Normal Di Indonesia Terbilang Masih Mentah
Peneliti bidang sosial dari The Indonesian Institute, Nopitri Wahyuni/Net
rmol news logo Presiden Joko Widodo telah melontarkan pernyataannya bahwa masyarakat perlu hidup berdamai dengan Covid-19. Hal tersebut sepaket dengan tinjauan untuk menerapkan "new normal" atau "kenormalan baru" di berbagai daerah di Indonesia.

Berdasarkan kajian awal Kementerian Perekonomian, ada lima fase pemulihan ekonomi dengan membuka sektor-sektor ekonomi secara bertahap dan menerapkan protokol kesehatan secara bertahap.

Kebijakan "kenormalan baru" yang tengah gencar di berbagai negara memiliki beberapa syarat. World Health Organization (WHO) mengungkapkan setidaknya ada enam syarat agar negara dapat menerapkan tatanan tersebut.

Masalahnya, syarat pertama yang menyebutkan bahwa transmisi Covid-19 telah terbukti dikendalikan, masih menjadi perdebatan. Berkaca dari negara-negara yang menerapkan "kenormalan baru", kurva kasus memang telah melandai. Sedangkan, di Indonesia saat ini, jumlah kasus terus meningkat per harinya.

Demikian disampaikan peneliti bidang sosial dari The Indonesian Institute, Nopitri Wahyuni kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (29/5).

"Kenormalan baru di Indonesia terbilang masih mentah. Perlu ada kajian ulang yang melibatkan pakar multidisiplin untuk menentukan apakah 'new normal' dapat diterapkan. Di negara-negara yang lebih dahulu menerapkan, seperti Korea Selatan, memiliki protokol kesehatan yang kuat karena infrastrukturnya memadai dan panduan penerapannya detail, baik dalam kebijakan tempat kerja maupun sekolah," ungkap Nopitri.

Selain itu, Nopitri juga menambahkan bahwa rasio tes (rapid test) di Indonesia termasuk yang paling buruk di 40 negara yang paling terdampak virus. Hanya 940 tes dilakukan per 1 juta orang, seperti diungkap Bappenas, dan masih jadi yang terendah di Asia Tenggara.

Belum lagi, urusan pengadaan alat kesehatan (alat PCR) pun terbatas, selain tantangan akan SDM ahli yang masih sedikit. Tantangan kapasitas kesehatan ini tentu mempertanyakan kesiapan "kenormalan baru", yang menuntut pemerintah siap dengan sistem kesehatan yang memadai dalam penanganan Covid-19, mulai dari identifikasi sampai karantina.

"Tantangan kenormalan baru juga melihat kapasitas kesehatan di Indonesia selain kerentanan risiko penyebaran virus per daerah. Apalagi, kapasitas ini belum terdistribusi secara merata di berbagai daerah di Indonesia karena layanan kesehatan yang masih rentan, baik karena ketersediaan tenaga medis, fasilitas kesehatan maupun anggaran kesehatan," tambah Nopitri.

Persoalan lainnya, WHO juga menyatakan bahwa harus ada tindakan mengurangi penyebaran wabah dengan pengaturan ketat di lokasi dengan kerentanan tinggi, seperti rumah lanjut usia (lansia), fasilitas kesehatan mental maupun pemukiman dengan kepadatan tinggi. Memang hal tersebut didasarkan bahwa kelompok rentan terpapar virus di berbagai negara memang kelompok lansia.

Kebalikannya di Indonesia, berdasarkan data peta sebaran Gugus Tugas Penanganan Covid-19, kelompok rentan positif Covid-19 berada pada cakupan usia 31-59 tahun, yang terbilang masuk pada kategori usia produktif dan tentu terlibat aktif dalam perekonomian.

"Ini akan sangat menantang ketika relaksasi pembatasan sosial diterapkan dan aktivitas ekonomi yang tergilas kebijakan pembatasan sosial, dikembalikan seperti biasanya. Dengan kerentanan paling tinggi pada kelompok usia produktif, sebenarnya perlu dievaluasi lagi apakah sebelumnya protokol kesehatan pada masa pembatasan sosial telah diterapkan dengan baik. Hal ini sangat penting untuk melihat kesiapan 'new normal'," ungkap Nopitri.

Melihat hal tersebut, Nopitri mengatakan bahwa pada dasarnya kebijakan kenormalan baru juga harus melibatkan tanggung jawab sosial atau kesadaran publik. Masalahnya, masyarakat masih banyak yang abai dengan seruan protokol kesehatan masyarakat. Dengan membuka aktivitas melalui kenormalan baru, tentu akan membutuhkan upaya dan biaya lebih untuk melakukan komunikasi berbasis risiko kepada masyarakat ataupun jika membutuhkan penerapan sanksi.

"Ini dilakukan semata-mata memungkinkan bahwa kenormalan baru dapat diterapkan, tetapi tidak menimbulkan ketimpangan risiko yang ada di masyarakat," tutup Nopitri. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA