Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Eks Kontributor Playboy Jadi Dirut TVRI, Pimpinan MPR: Tak Sesuai TAP MPR VI/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa!

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/faisal-aristama-1'>FAISAL ARISTAMA</a>
LAPORAN: FAISAL ARISTAMA
  • Jumat, 29 Mei 2020, 16:02 WIB
Eks Kontributor Playboy Jadi Dirut TVRI, Pimpinan MPR: Tak Sesuai TAP MPR VI/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa<i>!</i>
Penunjukkan Iman Brotoseno sebagai Dirut TVRI menuai kecaman dari berbagai pihak/Net
rmol news logo Kritikan terus bermuncual usai penunjukkan Iman Brotoseno sebagai Direktur Utama (Dirut) TVRI oleh Dewan Pengawas (Dewas). Di antaranya datang dari pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia.

Pasalnya, rekam jejak Imam Brotoseno yang pernah menjadi kontributor Majalah Dewasa Playboy Indonesia, dinilai bertentangan dengan etika kehidupan berbangsa dan bernegara seperti tertuang dalam TAP MPR Nomor VI/2001. Kemudian, dia juga dinilai tidak memiliki pengalaman sukses mengatasi masalah seperti yang terjadi di TVRI sebagaimana yang diharapkan oleh Dewas TVRI.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Hidayat Nur Wahid, dalam keterangannya, Jumat (29/5).

"Dewas harus menjelaskan hal tersebut secara gamblang, bahkan perlu segera merevisi keputusannya. Kok bisa rekam jejak komprehensif calon Dirut bisa luput dari perhatian dalam proses pemilihan Dirut TVRI? Padahal itu jabatan publik yang sangat strategis dan dibiayai oleh APBN," ujar Hidayat Nur Wahid.

Ditambahkan HNW, sapaan akrab Hidayat Nur Wahid, setiap penyelenggara negara harus tunduk kepada TAP MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

Di dalam TAP MPR RI tersebut, salah satu poinnya ditekankan soal pentingnya etika sosial dan budaya yaitu ‘perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.’

"Disayangkan sekali, rekam jejak calon Dirut TVRI yang baru sebagai eks kontributor Majalah Playboy Indonesia tidak menggambarkan hal itu. Apalagi, terkait majalah tersebut, dari pemimpin redaksi hingga beberapa modelnya pernah diproses secara hukum, berkaitan dengan delik kesusilaan," kata HNW.

Lebih lanjut, anggota Komisi VIII DPR RI itu menilai bahwa pengangkatan Dirut TVRI dengan rekam jejak demikian dinilai tidak sesuai dengan budaya beragama di Indonesia. Sebab, diyakini akan membuat gaduh dan resah di tengah masyarakat yang tengah dilanda kesulitan dalam menghadapi pandemik Covid-19.

"Masyarakat yang mestinya dibantu dengan hadirnya kebijakan-kebijakan yang membanggakan dan menenteramkan agar menguatkan religiusitas, dan harapan serta kepercayaan pada institusi negara, dan karenanya akan berkontribusi atasi Covid-19, malah kembali disodori keputusan yang menimbulkan kontroversi," tuturnya.

Apalagi, lanjut HNW, TVRI merupakan stasiun televisi yang bisa menjangkau masyarakat Indonesia hingga ke pelosok negeri Indonesia.

"Nah kalau Direkturnya berlatar belakang negatif seperti itu, tentu bisa membuat keresahan dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi itu berkurang," sesal HNW.

Menurut HNW, masih banyak kalangan profesional dengan track record lebih baik, yang bisa membuat kebijakan tayangan TVRI yang positif, konstruktif dan edukatif sesuai TAP MPR soal ethika kehidupan berbangsa dan bernegara itu.

“Kenapa bukan itu orientasi keputusan Dewas TVRI? Padahal kalau itu yang jadi kebijakan Dewas TVRI, tentu akan didukung oleh masyarakat dan membantu menyelesaikan masalah di TVRI,” ujarnya heran.

HNW juga meminta Dewas TVRI menghormati proses hukum sekaligus menahan diri sebelum kisruh Dewas TVRI bersama eks Dirut TVRI Helmy Yahya benar-benar clear dan proses di Komisi I DPR benar-benar tuntas.

Sebab, pengangkatan Dirut TVRI yang baru ini justru terkesan tidak menghormati dan tidak melaksanakan rekomendasi Komisi I DPR untuk menunda pemilihan Dirut TVRI yang baru sebagai pengganti antar waktu. Justru menambah kisruh baru dan lebih luas.

Atas dasar itu, politikus senior PKS ini menyebutkan bahwa pengangkatan Dirut TVRI ini tidak menghormati proses hukum gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang dilayangkan atas pemberhentian Helmy Yahya sebagai Dirut TVRI oleh Dewas TVRI.

Dewas seharusnya bisa menghormati proses hukum yang sedang berlangsung itu. Minimal, menurut HNW, sampai ada putusan berkekuatan tetap dari pengadilan.

“Di era ‘New Normal’ akan menjadi abnormal bila kebijakan-kebijakan yang dihadirkan justru tak mengindahkan faktor moral, legal dan tanggung jawab sosial. Kaedah yang harusnya dilaksanakan misalnya dalam ‘keputusan’ Dewas soal pengangkatan Dirut TVRI itu,” demikian HNW. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA