Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

3 Sudut Pandang Dalam Habitus Baru The New Normal

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Selasa, 02 Juni 2020, 10:29 WIB
3 Sudut Pandang Dalam Habitus Baru <i>The New Normal</i>
AM Putut Prabantoro menerima “Berkat Damai Untuk Bangsa Indonesia” yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus di Lapangan St. Petrus, Vatikan pada 16 Oktober 2019/Istimewa
rmol news logo Tatanan kehidupan baru atau New Normal hendaknya dilihat sebagai habitus baru yang memengaruhi sekaligus memunculkan cara hidup, cara berpikir, berkomunikasi, bertindak dan berperilaku baru (baca: berbeda) bagi masyarakat Indonesia.

Demikian disampaikan alumnus Lemhannas PPSA XXI, AM Putut Prabantoro, yang menegaskan habitus baru ini akan mendorong terjadinya efek domino pada kegiatan masyarakat lainnya.

Menurut Putut Prabantoro, ada 3 sudut pandang yang dapat digunakan untuk dapat melihat New Normal. Yakni “Apa Yang Sesungguhnya Berubah”, “Apa Yang Seharusnya Berubah”, dan “Apa Yang Sebaiknya Berubah”.   

Mengingat Covid-19 ini mengancam kehidupan manusia, ketiga sudut pandang itu melihat New Normal sebagai habitus baru dalam interaksi antarmanusia (New Normal Sesungguhnya), manusia dan kehidupannya termasuk ekonomi (New Normal yang Seharusnya), serta manusia dan lingkungannya (New Normal yang Sebaiknya). Ketiganya saling terkait satu sama lain.

“New Normal Yang Sesungguhnya ditandai dengan habitus yang sama sekali baru dalam interaksi antarmanusia seperti physical distancing (jaga jarak) atau social distancing (pembatasan sosial). Bentuk kegiatan yang terkait dengan kerumunan seperti sekolah, pelaksanaan ibadah, festival-festival, mall, hotel, ataupun transportasi akan berubah. Perubahan dari padat karya ke padat teknologi dalam dunia usaha dimungkinkan terjadi percepatan," ucap Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) ini.  

"Emirates Airlines, sebagai contoh, sudah mengeluarkan protokol New Normal dalam penerbangannya. Protokol ini akan terus digunakan hingga pandemik berakhir,” imbuh Putut Prabantoro di Jakarta, Senin (1/6).

Sedangkan “New Normal Yang Seharusnya”, lanjut Putut Prabantoro, dipengaruhi oleh Desentralisasi Global (DG). Di mana setiap negara termasuk Indonesia dipaksa untuk hidup mandiri dan harus fokus pada persoalan domestiknya.

Setiap negara harus mandiri tanpa dapat berharap bantuan dari negara lain yang juga memiliki masalah serupa. Dalam konteks ini, New Normal menjadi habitus baru yang akan mendorong pemerintah dan masyarakat Indonesia segera mewujudkan ketahanan pangan, air, dan energi. Termasuk energi baru terbarukan, mengingat ketiganya merupakan modal utama dalam menjalankan kehidupan ekonomi lainnya.

Sebagai konsekuensinya, pemerintah Indonesia harus mereview kebijakan ekonominya dan kembali ke amanat Pasal 33 UUD 1945, yakni Usaha Bersama yang berdasar pada asas kekeluargaan sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pemimpin bangsa dahulu.

Desentralisasi global di Indonesia mendorong munculnya kesadaran gotong royong dalam pembangunan bidang ekonomi. Tidak menutup kemungkinan, ditegaskan Putut Prabantoro, desentralisasi global ini akan mendorong terbentuknya Indonesia Raya Incorporated (IRI). Yakni pembangunan ekonomi nasional terintegrasi demi pemerataan kemakmuran untuk mewujudkan ketahanan nasional.

Sang penggagas konsep Indonesia Raya Incorporated (IRI) ini kembali mengingatkan, meskipun 505 dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia menggunakan unsur pangan dalam lambang daerahnya, ternyata ketahanan pangan di Indonesia tidak mudah untuk diwujudkan.

Artinya harus terjadi habitus baru dalam pemerintah daerah dan bersama pemerintah pusat untuk dapat mewujudkannya. Yang perlu diingat adalah, pembangunan ekonomi Indonesia harus bersumber dari kekuatan ekonomi masing-masing daerah yang bertumpu pada letak geografis dan sumber kekayaan alam yang dimilikinya untuk kemakmuran sebesar-besarnya seluruh rakyat Indonesia.

“Ada atau tidak pandemik, pembangunan ekonomi seharusnya untuk melaksanakan amanat UUD 1945. Dalam konteks ini, desentralisasi global harus dijadikan momentum bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri dan kuat. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan habitus baru dalam pembangunan ekonomi dan sendi kehidupan lainnya,” tegas Putut Prabantoro.

Dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta, Putut Prabantoro menambahkan, Indonesia harus optimistis dalam mewujudkan ketahanan pangan, air, dan energinya termasuk energi baru terbarukan serta ketahanan ekonomi lainnya.

Sedangkan “New Normal Yang Sebaiknya”, terbentuk karena pemerintah dan masyarakat Indonesia dihadapkan kepada persoalan pilihan antara “New Normal Yang Sesungguhnya” atau “New Normal Yang Seharusnya”.

Pilihan ini merupakan hasil kompromi berdasarkan kondisi ideal dan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari terkait hubungan antara manusia dan lingkungannya. Habitus Baru dalam New Normal ini ditandai dengan tercapainya kompromi harmoni antara “New Normal Yang Seharusnya” dan “New Normal Yang Sesungguhnya”.

“Belajar dari pandemik Covid-19, lingkungan bersih dan sehat sangat penting. Oleh karena itu, sikap abai masyarakat Indonesia terhadap lingkungan hidupnya akan diganti dengan habitus baru yang akan berujung pada terwujudnya Indonesia sebagai rumah bersama atau sebagai periuk nasi bersama, yang harus dipelihara. Apa yang dilakukan Ibu Risma terhadap Kota Surabaya, misalnya, merupakan contoh yang baik dari habitus baru,” tandas Ketua Presidium Bidang Komunikasi Politik ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia) ini.

Putut mengingatkan, memang dibutuhkan waktu untuk berubah hingga memiliki habitus baru. Namun, pada akhirnya, masyarakat Indonesia menyadari membutuhkan lingkungan hidup yang sehat dan bersih. Sisi positif dari dampak Covid-19, masyarakat terpaksa menjaga kelestarian lingkungan hidupnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA