Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Saatnya Kebijakan Produk Nikel Murah Disetop Demi Tingkatkan Kesejahteraan Buruh

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/widian-vebriyanto-1'>WIDIAN VEBRIYANTO</a>
LAPORAN: WIDIAN VEBRIYANTO
  • Rabu, 03 Juni 2020, 13:50 WIB
Saatnya Kebijakan Produk Nikel Murah Disetop Demi Tingkatkan Kesejahteraan Buruh
Biji nikel/Net
rmol news logo Harga produk olahan biji nikel produksi Indonesia yang murah tidak lepas dari biaya upah murah dan tidak adanya kepedulian pada lingkungan hidup yang komprehensif.

Begitu tegas Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pius Ginting dalam keterangan tertulisnya bersama Jatam Sulawesi Tengah, dan Yayasan Tanah Merdeka kepada redaksi, Rabu (3/6).

Pius mencatat bahwa harga produk nikel dari Indonesia berupa hot rolled stainless steel sheets dan coils (SSHR) lebih murah di pasar internasional. Hal ini juga yang membuat Uni Eropa mengenakan biaya anti dumping.

“Uni Eropa melakukan pemeriksaan atas kemungkinan terjadinya dumping atas dua produk nikel dari Indonesia, yakni PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel, Jakarta (ITSS) dan PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry, Jakarta (GCNS),” urainya.

Pius Ginting mengurai bahwa PT. CGNS memiliki kapasitas produksi 600.000 per tahun, membeli produk nikel setengah jadi dari perusahaan-perusahaan pemasok yang berlokasi di IMIP, mengkonsumsi bijih nikel 6 juta ton dengan kadar 1,9 persen. Bahan bakar yang diperlukan untuk pengeringan dan pembakaran bijih adalah bubuk batubara, dengan kuantitas lignite sebanyak 480,000 ton per tahun.

Sementara PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) dengan kapasitas produksi baja nirkarat 1 juta ton pertahun dan 1 jalur produksi rolling dengan kapasitas produksi 2 juta ton per tahun, membeli pasokan dari perusahaan-perusahaan yang berlokasi di IMIP.

“Dalam keputusan Komisi Uni Eropa pada tanggal 7 April 2020, menerapkan pungutan anti dumping sebesar 17 persen bagi produk kedua perusahaan persebut berlalu untuk masa enam bulan ke depan untuk beberapa jenis,” urainya.

Bila produksi tetap sama dengan perkiraan ekspor ke pasar Eropa sebanyak 3 persen dari Pelabuhan Kolonodale, Sulawesi Tengah dan mengasumsikan produksi tetap seperti tahun 2018, maka selama dalam 6 bulan jumlah pungutan dana dari biaya anti dumping adalah sebesar 5.064.478,50 dolar AS atau sama Rp 73.434.938.198,60 (kurs 1 dalar AS = Rp 14.500).

Jumlah ini sangat besar dibandingkan dengan beberapa jenis pengeluaran Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. Belanja modal peralatan dan mesin, pengadaan alat peraga/praktik sekolah pada tahun 2019 hanya sebesar Rp 64.475.000.000,00. Begitu juga atau belanja modal gedung dan bangunan, pengadaan bangunan kesehatan sebesar Rp 32.007.311.133,00.

“Biaya dumping tersebut juga setara dengan menaikkan gaji setahun 10.000 buruh di Morowali sebanyak 17 persen,” sambungnya.

Konsekuensi dari anti dumping ini tentu terdapat nilai tambah yang justru tidak dinikmati oleh rakyat Indonesia, di antaranya buruh, warga sekitar pertambangan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik.

Perusahaan smelter nikel dan perusahaan tambang nikel telah berusaha membuat harga nikel dari Indonesia menjadi murah. Sementara itu, buruh mengeluhkan waktu kerja yang panjang bahkan di tengah pandemik. Selain itu, reklamasi paska tambang tidak dilakukan.

“Target harga ekspor yang rendah adalah tidak berkelanjutan, merugikan lingkungan, buruh, dan warga terdampak. Dan disayangkan, jika produk tersebut kemudian dikenakan bea anti dumping yang penggunaan dananya justru bukan warga yang berada di sekitar pertambangan dan buruh,” sambungnya.

Pengenaan biaya anti dumping terkait dengan perlindungan industri negara pasar, namun hal ini tidak terlepas dari kebijakan industri nikel yang menekan biaya serendahnya.

Anti dumping ini dapat dihindari dengan meningkatkan upah buruh pada akhirnya akan meningkatkan ekonomi rakyat secara keseluruhan, pengelolaan lingkungan paska tambang, pemberlakukan teknologi polusi udara agar keluhan warga berupa debu dari PLTU industri nikel tidak terjadi.

“Pemerintah juga diharapkan tidak menerapkan pembuangan limbah pengolahan nikel ke laut demi biaya murah, karena produk nikel murah hanya mengorbankan warga sekitar, buruh, keragaman hayati darat dan laut,” tutupnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA