Ketua AMP Jhon Gobai menilai, tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) hukum yang digelar di Pengadilan Balikpapan, Kalimantan Timur tidak sesuai dengan fakta yang ada.
"Soal kasus 7 Tapol Papua di Kalimantan, mereka ini ditahan karena menuntut anti rasisme di Surabaya. Tapi kok tiba-tiba bergeser menjadi isu makar," ujar Jhon Gobai dalam diskusi virtual yang digelar HMI Komisariat Hukum UGM pada Sabtu (13/6).
Ketidaksesuain tuntutan dengan fakta yang ada, menurut Jhon Gobai adalah bentuk ketidakadilan hukum terhadap orang-orang Papua.
Ia melihat bahwa ada keterpaksaan yang sengaja dibuat agar 7 pemuda yang ditahan sebagai Tapol itu melakukan makar kepada penguasa saat ini.
"Kenapa hukum makar itu dipakai sementara secara hukum tidak bisa dibuktikan. Apalagi Buchtar Tabuni (salah satu Tapol) itu tidak pernah ikut demo di Jayapura, tapi divonis 17 tahun," ungkapnya.
Oleh karena itu, Jhon Gobai menilai bahwa Pasal 104 KUHP tentang makar dijadikan alat oleh penguasa untuk membungkam suara kritis mahasiswa, termasuk persoalan anti rasisme terhadap masyarakat Papua.
"Pasal makar berbahaya dengan gerakan mahasiswa. Jagan sampai mahasiswa nanti ketika kita meprotes Undang-Undang, ini (pasal makar) dijadikan alat untuk membungkam mahasiswa ke depannya," demikian Jhon Gobai.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: