Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Iwel Sastra: Kritik Dalam Bentuk Lawakan Dibutuhkan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-kiflan-wakik-1'>AHMAD KIFLAN WAKIK</a>
LAPORAN: AHMAD KIFLAN WAKIK
  • Jumat, 19 Juni 2020, 04:27 WIB
Iwel Sastra: Kritik Dalam Bentuk Lawakan Dibutuhkan
Iwel Sastra/Net
rmol news logo Beberapa hari belakangan ini, media massa dan media sosial diramaikan dengan berita seputar lawakan yang berisi kritikan.

Komika muda Bintang Emon melalui lawakan mengkritisi tuntutan jaksa pada sidang penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan berujung kepada usikan dan fitnah yang ditujukan kepadanya.  

Bintang Emon pun mendapat pembelaan dari warganet karena menganggap lawakan yang dia mainkan adalah sesuatu yang berdasarkan fakta dan tidak berlebihan.

Sementara itu, seorang pria yang menulis kembali lawakan Gus Dur di dinding media sosialnya, diminta klarifikasi oleh polisi.

Padahal, yang diunggah adalah lawakan lama yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu dan sudah beredar luas di internet.

Menurut komedian senior yang juga advokat Iwel Sastra, menjadi hal yang serius ketika humor sudah dibatasi menjadi media kritik.

Padahal, kata Iwel, sejak dulu humor sudah dijadikan sebagai salah satu alat dalam mengkritik persoalan sosial, hukum dan politik.

Lebih lanjut pria yang pernah mengelola program satir politik Republik Mimpi ini menyebutkan sebenarnya menyampaikan kritik melalui lawakan di Indonesia bukanlah hal yang baru. Para pelawak senior terdahulu sudah memulainya baik melalui siaran radio maupun panggung.

"Bahkan di panggung teater, satir politik sering dimainkan oleh teater Koma dan kelompok teater lainnya," kata Iwel kepada redaksi, Kamis (18/6).

Menurut Iwel, dunia komedi tanah air menjadi suram apabila terlalu banyak pembatasan bagi seorang komedian dalam memainkan materi lawakannya. Sehingga sulit muncul pelawak-pelawak cerdas.

Iwel yakin para komedian sudah memahami rambu-rambu yang tidak boleh mereka terabas ketika memainkan lawakan seperti menyinggung sara, menghina atau merendahkan martabat orang lain.

"Di negara demokrasi, kritik dalam bentuk lawakan dibutuhkan,” demikian Iwel Sastra. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA