Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pakar: Kritik Eks Dirjen Otda Soal Pilkada 9 Desember Bersifat Subjektif

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/raiza-andini-1'>RAIZA ANDINI</a>
LAPORAN: RAIZA ANDINI
  • Selasa, 30 Juni 2020, 17:49 WIB
Pakar: Kritik Eks Dirjen Otda Soal Pilkada 9 Desember Bersifat Subjektif
Pakar hukum tata negara dari Universitas Pancasila, Muhammad Rullyandi/Net
rmol news logo Kritikan terhadap pelaksanan pilkada serentak tahun 2020 di masa pandemik telah menabrak asas-asas pemilu dinilai subjektif. Kritik salah satu disampaikan oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Djohermansyah Djohan.

Pelaksanan pilkada di tengah pandemik bisa dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. Korea Selatan, adalah negara yang berhasil menggelar pemilihan di tengah pandemik. Jika mencontoh Korea, Indonesia pun bisa.

Demikian diungkapkan pakar hukum tata negara dari Universitas Pancasila, Muhammad Rullyandi, Selasa (30/6). Menurut Rullyandi, pandangan Djohermansyah dinilai absurd dan lebih berdasarkan subyektifitas pribadi.

Bencana wabah pandemik non alam seperti Covid-19 dapat diantisipasi dengan protokol kesehatan yang ketat. Tentunya, protokol kesehatan itu harus tersosialisasi dengan baik serta terimplementasi dengan baik pula.

"Saya pikir pendapat itu, sah-sah saja, tetapi bersifat subjektif. Perlu dipahami, keputusan persetujuan bersama pemerintah, DPR, dan KPU untuk menyelenggarakan pilkada 9 Desember 2020 secara menyeluruh adalah langkah yang konstitusional dan proporsional dengan mempertimbangan keamanan protokol kesehatan Covid-19 19," ungkapnya.

Rullyandi berpendapat, bahwa Djohermansyah memang pernah menjadi Dirjen Otda. Tapi dalam masa keadaan normal. Sehingga tidak memiliki pengalaman yang cukup menghadapi kondisi saat ini menyelenggarakan pilkada serentak 270 daerah di tahun 2020. Pelaksanaan pilkada serentak dengan protokol kesehatan itu sendiri, untuk menyelematkan keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

"Situasi yang tidak normal saat ini dan di tengah ketidakpastian kapan berakhirnya pandemik Covid-19 membuat pemerintah, DPR dan KPU memutuskan menyelamatkan keberlangsungan demokrasi dengan komitmen yang tinggi," katanya.

Terkait kritikan Djohermansyah, Rullyandi berpendapat, perlu diuji rasio konstitusionalitasnya. Keseluruhan pandangan mantan Dirjen Otda itu harus  dihubungkan dengan gagasan negara hukum yang demokratis. Jika pilkada itu gagal, justru berpotensi melahirkan suatu problem konstitusional yang berdampak luas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

"Problem konstitusional tersebut, disebabkan karena tidak sejalannya dengan kaedah prinsip negara hukum yang memenuhi aspek jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil dengan pemenuhan hak konstitusional memilih dan dipilih sebagai amanah konstitusi untuk menghindari potensi ketidakpastian kekosongan jabatan yang berkepanjangan," tuturnya.

Menurutnya, keputusan melanjutkan tahapan pilkada serentak sudah sesuai dengan pedoman garis besar rambu-rambu konstitusional yang telah memberikan amanah bagi penyelenggaraan negara termasuk di dalamnya proses pengisian jabatan kepala daerah dalam rezim demokrasi lokal. Pelaksanan pilkada di tengah pandemik telah mempertimbangkan berbagai alasan subjektif dan alasan objektif.

"Pilkada di saat pandemik ini sebagai ukuran keseriusan pemerintah dan kesiapan penyelenggara pemilu, baik itu KPU dan Bawaslu menegakan prinsip-prinsip nilai demokrasi meskipun situasi saat ini negara kita belum pernah terjadi keadaan pandemi sejak tahun 1945 Indonesia merdeka," katanya.

Karena, kata dia, jika pandemik itu kemudian menghambat keberlangsungan demokrasi di Indonesia, ini justru akan jadi problem. Ada dinamika ketatanegaraan yang harus dijamin untuk menghindari potensi ancaman ketidakpastian hukum akibat kokosongan jabatan kepala daerah yang definitif.

Justru, dengan pilkada ini, daerah setidaknya akan punya kepala daerah yang punya kewenangan penuh. Dan, ini sangat berguna dalam penanggulangan Covid-19 di daerah. Karena bagaimanapun penanggulangan dan penanganan Covid-19 ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Kepemimpinan dengan kewenangan penuh.

"Dengan kondisi ketidakpastian berakhirnya wabah Covid-19 dan untuk menghadapi berakhirnya masa jabatan kepala daerah di 270 daerah, suatu negara berdaulat yang demokratis tak akan membiarkan penyelenggaraan pemerintahan terhambat. Maka menyelenggarakan proses pemilihan lanjutan adalah demi keberlangsungan pemerintahan daerah yang efektif, efisien dan power full yang mana ini diperlukan saat mengambil keputusan strategis. Termasuk keputusan dalam penanggulangan Covid-19," ujarnya.

Mantan Dirjen Otda Kemendagri, Djohermansyah Djohan mengkritik keputusan menggelar pilkada serentak di tengah pandemik. Katanya, pilkada pada 9 Desember 2020 menabrak tiga asas pelaksanaan pilkada.

Pertama, pilkada tidak boleh dilaksanakan jika sedang ada bencana. Kedua, pilkada sejatinya menjadi pesta demokrasi yang aman dan tenang. Ketiga, ada mekanisme pengangkatan pejabat sementara untuk menggantikan kepala daerah yang masa jabatannya telah habis. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA