Salah satu faktor mendasar agar dapat bangkit dari keterpurukan akibat Covid-19 ialah dengan memperkuat
national identity suatu negara. Tanpa itu, akan sulit dan melelahkan menghadapi ancaman krisis tersebut.
Demikian disampaikan cendekiawan yang juga aktivis senior, Yudi Latief saat mengisi diskusi daring bertajuk "Pandemi Covid-19 dalam perspektif agama dan kebudayaan" ada Selasa (7/7).
"Negara-negara dengan
national identity yang kuat itu mampu mengatasi ancaman krisis secara lebih efektif. Yang
national identity-nya sedang rapuh itu sulit biasanya menghadapi ancaman-ancaman Corona seperti ini," ujar Yudi Latief.
"Kita lihat misalnya Jepang dan Jerman udah berkali-kali jatuh, berkali-kali dia hadapi krisis tapi selalu bisa bangkit cepat. Nah kita lihat, kalau negara itu ketahanan budaya dalam hal ini
national identity-nya sedang rapuh negara adidaya kaya Amerika saja itu nggak berkutik di hadapan corona ini," imbuhnya.
Yudi Latief menguraikan, meskipun virusnya sama Covid-19 tetapi dampaknya akan berbeda-beda disetiap negara. Sebab, hal ini tergantung bagaimana negara tersebut menyikapi dampak pandemik Covid-19 tersebut.
"Ada negara yang parah banget, ada negara yang cepat
recovery. Apa yang membedakan? Coba kita perhatikan jarak dari Wuhan ke negara-negara Asia Timur begitu dekat. Taiwan survive cepat, Korea pulih cepat, Jepang begitu cepat. Sementara berapa ribu mil ke benua Amerika, negara adidaya kayak Amerika itu sangat terhuyung-huyung gitu," tuturnya.
Mengapa yang deket dengan Wuhan beberapa negara bisa cepet recovery, mampu dengan wabah ini. Sementara negara adidaya kayak Amerika terkapar?
"Tentu ada banyak faktor, tapi satu hal yang bisa kita identifikasi bahwa negara-negara dengan ketahanan budaya, dalam hal ini
national identity yang kuat itu memiliki kesanggupan untuk menghadapi krisis jauh lebih efektif, ketimbang negara-negara dengan identitas nasionalnya sedang bermasalah," imbuhnya.
Lantas, Yudi Latief mengungkapkan kondisi objektif
national identity di Indonesia masih rapuh dan perlu diperkuat. Pasalnya, ini masih berkaitan dengan inkonsistensi pemerintah dan masih menggunakan paradigma klasik dan lebih mengendepankan investasi masuk.
"Jadi Covid-19 ini betul-betul menunjukkan kepada kita sebenarnya apa yang salah di dalam 20 tahun reformasi ini, di mana semua otoritas ambruk dan kita saling menghianati satu sama lainnya. Rasa saling percaya pudar sumpah dan keimanan disalahgunakan, kebaikan-kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan," ucapnya.
"Saya kira hal-hal seperti ini, modal sosial seperti ini, jauh lebih penting ketimbang berapa banyak investasi yang masuk, berapa banyak modal yang masuk. Modal finansial, modal keterampilan, itu tidak bekerja kalau modal sosialnya tidak kuat," tegasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.