Genap 24 tahun silam, kantor PDI yang dipimpin Megawati Soekarnoputri mendapat serangan hingga terjadi huru-hara di sekitaran Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat.
Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto kala itu turut memburu para aktivis pro demokrasi. Tidak sedikit aktivis ini dikriminalisasi atau "disiksa" hingga berujung pada jeruji besi bahkan dibunuh.
Salah satu aktivis yang dipenjara oleh Orba kala itu yakni aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Budiman Sudjatmiko yang kini menjadi politisi PDIP. Dia dipenjara selama 13 tahun. Itu lantaran PRD dituduh menjadi dalang peristiwa Kudatuli oleh rezim Orba.
Peristiwa tersebut, masih terekam dalam ingatan anggota Komisi III DPR RI fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luqman Hakim yang dituturkan kembali melalui akun Twitter pribadi, Senin (27/7). Menurutnya, Kudatuli merupakan tragedi "Jakarta Berdarah".
"Kudatuli, 27 Juli 1996 Jakarta Berdarah, dari serangan terhadap kantor PDI pimpinan Megawati. Tiga bulan sebelumnya, Budiman Sudjatmiko dipilih sebagai Ketum PRD di Kaliurang. Kudatuli, diikuti perburuan aktivis pro demokrasi oleh rezim Soeharto. Banyak aktivis disiksa, dipenjara dan dibunuh," ujarnya.
Luqman menuturkan, rezim Orba yang menuduh PRD sebagai dalang kerusuhan di Kantor DPP PDIP, yang kemudian dijadikan dalil oleh pemerintah untuk memburu aktivis pro demokrasi di seluruh penjuru negeri. Hingga akhirnya, tidak sedikit kader PDIP tewas dalam Sabtu Kelabu 1996 itu.
"Rezim menuduh PRD sebagai dalang kerusuhan di Kantor PDI yang menewaskan banyak kader PDI. Tuduhan itu dipakai alasan Orba memburu aktivis pro demokrasi di seluruh Indonesia. Termasuk teman-teman aktivis non-PRD. Banyak korban berjatuhan," tutur Luqman yang juga mantan Ketua IPNU Kabupaten Semarang ini.
Kudatuli, sambungnya, menjadi bagian dari kristalisasi perlawanan terhadap rezim Soeharto. Meskipun jauh sebelumnya, kelompok-kelompok mahasiswa dan rakyat sudah bergerak secara masif di berbagai daerah dengan berbagi isu yang menyangkut penindasan rakyat oleh rezim Soeharto.
"Sasaran utamanya; menjatuhkan rezim otoriter orde baru," kata Luqman.
Lebih lanjut, Luqman menyebutkan bahwa simbol perlawanan terhadap Orba tidak luput dari dua tokoh bangsa KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri.
Kedua tokoh ini menjadi kunci perlawanan rakyat terhadap kesewenang-wenangan penguasa kala itu, yakni Soeharto. Hingga akhirnya demokrasi bisa dimulai di negeri Indonesia.
"Gus Dur dan Megawati, kedua tokoh ini menjadi simbol perlawanan terhadap orde baru. Selama Orba berkuasa, kaum Nahdliyin dan Marhaenis adalah elemen paling ditindas. Puncaknya, 21 Mei 1998, Soeharto dipaksa mundur oleh gerakan rakyat dan mahsiswa. Dimulailah era demokrasi di negeri ini," demikian Luqman Hakim.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: