Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PKS, Abdul Kharis Almasyhari menilai, RUU Cipta Kerja yang memasukkan kandungan revisi terhadap UU 32/2002 tentang Penyiaran berpotensi melemahkan peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan menghilangkan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP).
Menurutnya, apabila mekanisme IPP dihapuskan seperti yang tercantum di draf RUU Cipta Kerja, maka dikhawatirkan lembaga penyiaran tidak lagi berupaya untuk meningkatkan kualitas isi siarannya secara konsisten.
“Hal ini perlu dicermati, karena IPP mengharuskan lembaga penyiaran untuk memperbaiki kinerjanya melalui tahapan evaluasi oleh KPI,†tegas DPR dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah V ini kepada wartawan, Minggu (9/8).
Regulasi tentang penyiaran seharusnya memperkuat peran KPI sebagai regulator penyiaran, bukan justru melemahkan. Dia mengingatkan, dalam Pasal 33 UU 32/2002 tentang Penyiaran telah menyebutkan bahwa pemberian dan perpanjangan izin siaran diberikan berdasarkan kepentingan dan kenyamanan publik sebagai konsumen.
“Artinya, penghapusan IPP justru dapat menomorduakan kepentingan masyarakat,†tegas politisi PKS itu.
Pasal 79 draf RUU Cipta Kerja mengubah sejumlah ketentuan dalam UU 32/2002 tentang Penyiaran, antara lain pada Pasal 16, 17, 25, 33, 34, 55, 56, 57, dan 58.
Kharis mengingatkan untuk memasukkan ketentuan mengenai digitalisasi dengan sistem single mux. Ia berpendapat bahwa digitalisasi mempermudah dan mempermurah sistem penyiaran di Indonesia, sehingga diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat.
“Harus ada ketentuan mengenai penyelenggaraan penyiaran yang dilakukan dengan mengikuti perkembangan teknologi analog ke digital, karena berkaitan dengan efisiensi penggunaan spektrum frekuensi penyiaran†pungkasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: