Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bagi AICHR, R-Perpres Tentang Peran TNI Atasi Terorisme Lemahkan Indonesia Sebagai Ketua DK PBB

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/raiza-andini-1'>RAIZA ANDINI</a>
LAPORAN: RAIZA ANDINI
  • Rabu, 12 Agustus 2020, 01:51 WIB
Bagi AICHR, R-Perpres Tentang Peran TNI Atasi Terorisme Lemahkan Indonesia Sebagai Ketua DK PBB
Indonesia saat dipercaya sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB tahun 2019/Net
rmol news logo Rancangan Peraturan Presiden (R-Perpres) penanganan terorisme oleh TNI dikritisi lantaran dinilai mengancam supremasi hukum konstitusi negara.

Bahkan R-Perpres ini juga dikhawatirkan akan melemahkan posisi Indonesia sebagai Ketua Dewan Keamanan (DK) PBB yang sejatinya memprioritaskan upaya perdamaian dunia, termasuk penanggulangan terorisme di dunia.

“Peran penting ini seharusnya tidak dilumpuhkan atau dilemahkan oleh upaya sebagian politisi, pemerintah dan TNI di tingkat nasional untuk memaksakan dikeluarkannya Perpres yang memberikan wewenang pada TNI secara berlebihan,” kata wakil pemerintah Indonesia di Komisi HAM antarpemerintah ASEAN (AICHR), Rafendi Djamin lewat keterangan tertulisnya yang diterima Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (11/8).

Dia menerangkan jika Perpres ini dikeluarkan Indonesia sebagai ketua DK-PBB, jelas akan memberikan contoh buruk bagi pemerintah lain di dunia. “Jauh dari keteladanan dan pada akhirnya menggagalkan misi diplomasi RI untuk perdamaian dunia,” katanya.

Pihaknya menjelaskan, hukum HAM dan humaniter internasional sudah jelas mengatur bahwa ancaman tindakan terorisme di tingkat nasional tunduk pada criminal justice system atau law enforcement.

“Bukan hukum perang atau situasi perang (war rules). TNI bisa dilibatkan dalam penanggulangan terorisme yang tunduk pada sistem penegakan hukum hanya pada saat 'imminent threat', ancaman yang nyata tidak dapat diselesaikan melalui sistem penegakan hukum biasa,” urainya.

Menurutnya, aturan hukum HAM Internasional mensyaratkan tiga tahap yang harus diterapkan sebelum pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme.

Pertama, pemerintah wajib membuktikan kelompok teroris terorganisir tertentu telah dan akan melakukan serangan-serangan menggunakan kekerasan berulang yang mengancam negara dan masyarakat dengan intensitas tinggi yang mengarah pada perjuangan politik bersenjata.

Kedua, kelompok terorganisir ini menjadi bagian tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok politik bersenjata. Bahwa instrumen penegakan hukum tidak tersedia atau tidak dapat dilakukan.

Ketiga, pelibatan TNI dalam criminal justice system untuk melawan terorisme yang dapat dilakukan dalam jangka panjang berkala adalah pelibatan pada kerja sama intelejen, yakni dalam membuat assessment profile ancaman tindakan terorisme dari terduga teroris atau kelompok teroris.

“Pelibatan intelejen tersebut dilakukan pada tahap pencegahan mau pun penindakan dalam ranah criminal justice system. Pelibatan dalam penindakan hanya dilakukan ketika opsi penegakan hukum tidak tersedia lagi,” bebernya.

Maka, simpul Rafendi, R-Perpres tentang tugas TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme yang memuat pasal-pasal yang memberikan wewenang pada TNI untuk pencegahan dan penindakan di luar kerangka criminal justice system.

“Harus ditolak karena bertentangan dengan norma-norma hukum HAM dan humaniter internasional serta TAP MPR 6 dan 7/ 2000 tentang pemisahan tugas TNI dan Polri, UU Polri 2/2002, UU Pertahanan 3/2003, UU TNI 34/2004, dan UU 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,” tutupnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA