Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Hindari Kerusuhan, Pemerintah Harus Akhiri Status Quo Bendera Aceh

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/diki-trianto-1'>DIKI TRIANTO</a>
LAPORAN: DIKI TRIANTO
  • Minggu, 16 Agustus 2020, 18:37 WIB
Hindari Kerusuhan, Pemerintah Harus Akhiri <i>Status Quo</i> Bendera Aceh
Aparat kepolisian menurunkan bendera Bulan Bintang yang sempat dikibarkan di depan kantor DPA PA, di Banda Aceh/Net
rmol news logo Harus ada pembicaraan yang serius antara pemerintah Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh serta pemerintah pusat mengenai persoalan bendera Aceh.

Tak hanya itu, pengamat hukum Universitas Syiah Kuala, Saifuddin Bantasyam juga menyarankan agar Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al Haytar menggunakan pengaruhnya untuk mengakhiri status quo ini.

“Harus ada keputusan akhir. Pemerintah pusat juga harus ambil inisiatif. Tidak ada yang diuntungkan dengan status quo itu. Harus ada kepastian,” kata Saifuddin dilansir Kantor Berita RMOLAceh, Minggu (16/8).

Sebelumnya, sempat ada upaya warga Aceh menaikkan Bulan Bintang di halaman depan Meuligoe Wali Nanggroe. Namun upaya mereka kandas karena dihalangi aparat keamanan.

Dalam versi lain disebutkan, massa hanya ingin menyerahkan Bulan Bintang kepada Wali Nanggroe dan Muzakkir Manaf, selaku Ketua Partai Aceh, dan meminta dua tokoh itu menaikkan bendera itu.

Disinggung mengenai peristiwa tersebut, mantan Ketua Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Unsyiah itu mengakui dirinya belum tahu detail insiden tersebut.

“Jika hanya ingin menyerahkannya kepada Malik Mahmud dan Muzakkir Manaf, ya saya kira bukan persoalan besar. Namun jika ingin menaikkan bendera di depan Meuligo, saya kira TNI/Polri tentu tak mengizinkan karena adanya perintah dari pemerintah pusat,” kata Saifuddin.

Saifuddin mengingatkan bahwa keadaan ricuh semacam itu tak boleh berulang. Jika tidak ditangani, bisa saja dalam momentum tertentu bisa berpotensi kerusuhan yang sulit dikendalikan.

Menurut Saifuddin, Qanun 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh disahkan oleh DPRA namun ditolak oleh Kementerian Dalam Negeri. Lalu pada Juli 2016, Kemendagri mengirim surat kepada Presiden RI yang menyatakan pembatalan Qanun dan meminta Pemerintah Aceh (eksekutif dan legislatif) mencabut Qanun tersebut.

Tetapi pada Agustus tahun lalu, kata Saifuddin, Plt Gubernur Aceh dan DPRA sama-sama menyatakan mereka tak pernah menerima surat pembatalan tersebut. Saifuddin juga ragu surat pembatalan itu benar-benar pernah diajukan kepada presiden oleh Kemendagri.

Saifuddin mengatakan perbedaan pendapat antara sebagian warga dan aparat keamanan, terkait pengibaran Bulan Bintang sebagai Bendera Aceh, tidak akan mengganggu perdamaian Aceh yang dituangkan dalam Perjanjian Damai Helsinki.

MoU Helsinki, kata Saifuddin, adalah produk bersejarah dan merupakan dokumen yang merefleksikan penghormatan kepada harkat dan martabat manusia. Jadi, kata dia, tak masuk akal jika seluruh butir dalam perjanjian itu batal hanya karena bendera.

“Perang yang berdarah-darah saja bisa dihentikan dan diselesaikan dengan damai karena ada yang sama-sama mau mundur selangkah. Maka semestinya soal bendera juga dapat diselesaikan” demikain Saifuddin. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA