Pasalnya, jika kebijakan ketenagakerjaan yang selama ini terlalu rekstriktif maka RUU Ciptaker akan mengurai aturan yang selama ini membatasi pembukaan lapangan pekerjaan.
Begitu disampaikan Pengamat ekonomi-politik Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri dalam keterangannya, Kamis (20/8).
"Harusnya kan ini melindungi tenaga kerja tetapi malah kebalikannya, ini mungkin melindungi tenaga kerja yang sudah bekerja, tapi dia membuat dunia usaha tidak mau atau menjadi sungkan untuk merekrut tenaga kerja baru," ujar Yose Rizal.
Yose mengurai, sektor padat karya terus mengalami penurunan perannya di dalam perekonomian Indonesia. Sebelum krisis 1998, setiap tahun sektor manufaktur menghasilkan lapangan pekerjaan lebih dari 250 ribu pekerjaan.
Sementara sejak 2000 sampai 2012, sektor manufaktur hanya bisa menghasilkan lapangan pekerjaan di bawah 50 ribu per tahun. Setelah 2012, sektor manufaktur bisa menghasilkan hingga 150 ribu per tahun.
"Ini artinya perekonomian kita tumbuh dengan pesat tetapi kurang menghasilkan lapangan pekerjaan," urainya.
Menurut Yose, tujuan dari pembuatan RUU Ciptaker ini antara lain untuk memperbaiki iklim usaha dan iklim investasi di Indonesia.
Sebab dalam pandangan Yose, akumulasi modal atau investasi di Indonesia masih di bawah negara lain di kawasan Asia Tenggara.
"Kemudian kita juga melihat bahwa produktivitas di Indonesia ini cenderung rendah ya. Kenapa rendah? karena
cost of doing business itu tinggi, biaya untuk menjalani usaha itu tinggi," kata Yose.
"Ini macam-macam sumbernya. Makanya kemudian sumbernya dari
cost of doing business itu diperbaiki oleh RUU Cipta Kerja ini," imbuhnya.
Selain itu, Yose juga menyatakan RUU Ciptaker juga memperbaiki permasalahan regulasi yang tumpang tindih, perizinan investasi hingga peraturan di tingkatan daerah yang tidak baik untuk investasi itu sendiri.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.