Demikian pandangan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana), Samuel F. Silaen dalam merespons keberadaan
influencer yang belakangan menjadi polemik.
"Dengan berkembangnya teknologi, perlu mempekerjakan
influencer melawan para penyebar
hoax yang memutarbalikkan fakta agar tidak ditelan mentah-mentah oleh orang awam," kata Silaen dalam keterangan tertulisnya, Minggu (23/8).
Namun dalam perjalanannya, kata Silaen, banyak pihak yang justru menyalahgunakan profesi
influencer jadi pembuat info 'kebohongan publik' karena tak sesuai fakta yang ada.
"Publik disuguhkan info ala 'mimpi' yang tidak nyata, seolah-olah sudah kenyataan. Inilah polemiknya," ujar Silaen.
Seandainya tidak disalahgunakan, jelasnya, tentu tidak sepolemik sekarang hingga mengusik profesi para
influencer yang punya banyak pengikut di lini sosial media.
Kini,
influencer bukan hanya dibutuhkan di dunia marketing untuk memperkenalkan dan memasarkan produk- produk.
Influencer, kata dia, jadi profesi yang menggiurkan karena sangat dibutuhkan oleh banyak kalangan yang terjun di dunia politik praktis.
Selain itu, keahlian
influencer juga dapat membuat cita rasa baru dari sosok yang hendak dibangun pencitraan di mata publik.
Ia mengamini dalam alam demokrasi, semua orang bisa berpendapat dan memposting apa saja di sosial media, termasuk mengkritisi kinerja pemerintah maupun nonpemerintah. Hal inilah dinilainya menjadi risiko pekerjaan yang harus dihadapi para publik figur agar selalu dipandang baik di mata publik.
"Tapi yang terjadi sekarang adalah, banyak orang yang tak menikmati atau merasakan yang sesungguhnya (terjadi).
Influencer seperti 'penjual mimpi'. Terkadang hasil sesungguhnya tidak seindah yang disampaikan oleh
influencer," tandasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: