Namun di sisi lain, pers profesional terikat pada kode etik jurnalistik dan berbagai pedoman pelaksana yang disusun untuk menciptakan iklim pemberitaan yang positif dan konstruktif.
Begitu yang dikatakan Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Sensor Film (LSF) bertajuk “Sensor Mandiri dan Literasi Media Pemuda untuk Indonesia Maju†secara virtual, Selasa (25/8).
Teguh menambahkan, definisi sensor di dalam pasal 1 UU 4/1999 tentang Pers adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
Pertemuan antara “bebas sensor†dan kode etik jurnalistik itulah yang melahirkan konsep self censorship dalam praktik jurnalistik.
“Meski karya jurnalistik disebutkan bebas dari sensor namun pada praktiknya, pers juga mengenal istilah self censorship. Media dengan kesadaran sendiri atau self awareness, menyensor isi media untuk mengurangi kontroversi atau untuk memenuhi selera publik dan industri,†sambung Teguh yang juga dosen di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini lagi.
Pada titik inilah, kampanye sensor mandiri yang sedang dikembangkan LSF senada dengan praktik jurnalistik.
“Maka, ada banyak teori yang mengatakan bahwa apa yang dibaca di media itu hanya seperti puncak gunung es, hanya refleksi dari apa yang terjadi sesungguhnya,†kata Teguh lagi sambil menambahkan bahwa ini adalah sikap yang rasional di tengah arus informasi dan pemberitaan yang semakin menjadi-jadi.
“Bagaimana pun juga, pembaca adalah juri bagi karya jurnalistik,†demikian Teguh.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: