Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, kesan tersebut terlihat kentara dicerminkan oleh Jurubicara Presiden, Fadjroel Rachman yang menilai keberadaan
influencer sebagai ujung tombak demokrasi digital.
Padahal bagi Dedi, bila mencermati lebih dalam, keberadaan
influencer tak perlu ada lantaran tugas mereka bisa dilakukan oleh jurubicara presiden itu sendiri.
Oleh karennya, ia heran dengan sikap pemerintah yang seakan ngotot bahwa keberadaan
influencer penting di era perkembangan digital seperti saat ini.
"Jika benar sedemikian penting
influencer, maka inilah saatnya Fadjroel meninggalkan istana dan tidak perlu lagi menyandang jabatan jubir," kata Dedi kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (1/9).
Tak hanya itu, narasi Fadjroel mengenai
influencer yang belakangan menjadi sorotan publik juga bernada pembelaan dirinya sebagai seorang jurubicara Presiden Joko Widodo.
"Fadjroel memaksakan logika soal
influencer politik pemerintah sekaligus lakukan pembelaan atas kegagalan jubir pemerintah," jelasnya.
Belakangan, keberadaan
influencer menjadi sorotan usai adanya temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) mengenai penggunaan anggaran senilai Rp 90,45 miliar untuk jasa
influencer.
Sejurus dengan itu, Jubir Presiden, Fadjroel Rachman menyebut keberadaan
influencer memiliki peran penting sebagai pihak yang berpengaruh pada suatu opini di tengah perkembangan era transformasi dan demokrasi digital saat ini.
"Perkembangan masyarakat digital dengan peranan para aktor digital (salah satunya influencer) yang umumnya kelas menengah adalah keniscayaan dari transformasi digital," ujar Fadjroel dalam keterangannya, Senin lalu (31/8).
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: