Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sense of Crisis Bank Indonesia Lambat, Jadi Satu Sebab Penanganan Covid-19 Berlarut-larut

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Sabtu, 12 September 2020, 14:47 WIB
<i>Sense of Crisis</i> Bank Indonesia Lambat, Jadi Satu Sebab Penanganan Covid-19 Berlarut-larut
Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah/Repro
rmol news logo Penanganan pandemi Covid-19 yang tak kunjung menemukan titik penyelesaian disinyalir juga disebabkan oleh lemahnya sumber pembiayaan dari pemerintah.

Begitulah Ekonom CORE Indonesia, Piter Abdullah, menilai kondisi virus corona jenis baru yang hingga 6 bulan ini masih terus menanjak angka kasus positifnya.

"Sekarang itu yang dipermasalahkan, yang menjadi hambatan di pemerintah adalah uang. Walaupun seharusnya tidak menjadi masalah," ujar Piter dalam diskusi virtual Smart FM dan Populi Center bertajuk 'PSBB Lagi?', Sabtu (12/9). 

Namun, menurut Direktur Riset CORE Indonesia ini, persoalan kebutuhan uang untuk penanganan Covid-19 bisa diatasi pemerintah melalui skema utang. Sebabnya, hampir semua negara sekarang ini berutang untuk menyelesaikan pandemik global yang berasal dari Wuhan, China, tersebut.

"Itu di banyak negara semuanya sama. Cuma masalahnya kita mau atau tidak. Apa bedanya kita dengan Jepang, Inggris, Amerika? Sama. Yaitu ketika kejadian seperti ini ada kesepakatan bahwa kondisi ini adalah kondisi krisis dan semua pemangku kebijakan mengambil langkah yang extraordinary yang di antaranya itu mengenai pembiayaan," terangnya.

Secara pribadi Piter mengaku melihat pemerintah siap berutang, baik melalui skema pinjaman asing maupun skema pinjaman di dalam negeri. Namun sayangnya, hal itu tidak diimbangi dengan dukungan dari Bank Indonesia (BI).

"Semua negara sekarang ini untuk memenuhi pembiayaan mengatasi wabah covid ini dengan mengeluarkan utang baru. Tapi melalui utang baru itu seharusnya tidak menjadi masalah karena ada koordinasi dan sinergi yang sangat kuat antara pemerintah dengan bank sentral. Persoalan kita kan ada disitu. Support dari bank sentral saja lama benar," ungkap Piter.

"Baru ada kesepakatan Burden Sharing di bulan Juli-Agustus. Dan itu setelah beberapa bulan ini menyebabkan pemerintah untuk membiayai ini semua perlu uang yang sangat besar, untuk membantu masyarakat, membantu dunia usaha, membantu kesehatan itu semuanya perlu uang," sambungnya.

Berbeda halnya dengan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, yang meski bertentangan dengan rezim Donald Trump, pada saat krisis pandemi menghantam Negeri Paman Sam menyampaikan sikap yang sama dengan pemerintah federal.

"Dari awal tahun, The Fed sudah kasih statement bahwasanya dia akan melakukan pembiayaan fiskal, Quantity Fishing, itu tanpa batas. Itu statement yang sangat kuat. Padahal kita tahu sebelumnya The Fed dengan pemerintahan Trumph itu sangat bertentangan," beber Piter.

"Tapi begitu mereka menghadapai kodisi krisis, The Fed memberikan statement yang sangat support terhadap pemerintah. Karena mereka menghadapi permasalahan yang sama," lanjutnya.

Oleh karena itu, Piter mengaku kecewa dengan Bank Indonesia yang terkesan lambat menunjukan sense of crisis-nya untuk membantu penanganan Covid-19. Sehingga pemerintah juga terlihat sulit mengeluarkan dana untuk implementasi kebijakan yang telah dikeluarkan.

"Anggarannya (penanganan Covid-19) sudah ditetapkan. Tetapi untuk membiayai anggaran yang sudah ditetapkan itu seharusnya tidak hanya dari sisi berutang, baik ke luar negeri maupun di dalam negeri. Tapi utamanya support dari bank sentralnya. Makanya persoalan uang itu menjadi muncul," tuturnya.

"Dan itulah yang ingin disampaikan Pak Jokowi yang (videonya) menjadi viral, yang kemarahannya (menunjukan) harus ada sense of crisis yang sama," demikian Piter Abdullah. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA