Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pandemi Makin Ngeri, Alasan Pemerintah Ngotot Gelar Pilkada Dipertanyakan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Rabu, 16 September 2020, 08:59 WIB
Pandemi Makin Ngeri, Alasan Pemerintah Ngotot Gelar Pilkada Dipertanyakan
Kerumunan massa saat pendaftaran pilkada/Net
rmol news logo Desakan terus mengalir agar pemerintah menunda pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di tengah meningkatnya kasus pandemi Covid-19 di Indonesia.

Desakan itu juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia's Democratic Policy, Satyo Purwanto yang mengaku heran dengan kengototan pemerintah melanjutkan pelaksanaan pilkada. Terlebih penanganan pandemi buruk dan perekenomian Indonesia sedang mengalami kontraksi hebat.

"Tentu menjadi pertanyaan, atas alasan apa pemerintah tetap ngotot mau melanjutkan Pilkada 2020? Saat dengan peningkatan kasus positif selalu diatas 3 ribu per hari,” ujarnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (16/9).

“Bila kita asumsikan kondisi ini berlangsung hingga November saja jumlah kasus positif di Indonesia bisa mendekati 500 ribu kasus positif, tentu ini situasi yang mengerikan," lanjut Satyo.

Apalagi, KPU telah menyampaikan pada pekan lalu sudah ada 60 bakal calon kepala daerah yang positif Covid-19.

"Logikanya selama ini mereka para calon positif ini tentu bersosialisasi dan konsolidasi serta datang mendaftar ke KPU setempat. Kesimpulannya bila di-tracing tentu sebenarnya sudah terjadi klaster pilkada, padahal saat ini belum kampanye dan pemungutan suara," jelas Satyo.

Berdasarkan analisa situasi tersebut, pilihan yang logis adalah menunda Pilkada 2020. Pemerintah punya legal standing untuk menunda Pilkada berlandaskan Perppu 2/2020 tentang perubahan ke-3 UU 1/2015 tentang penetapan Perppu 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Termasuk lewat keberadaan Keppres 12/2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional.

Namun demikian, kata mantan Sekjen Prodem ini, jika pemerintah tetap bersikeras menggelar pilkada pada 9 Desember nanti, maka harus menyanggupi beberapa persyaratan.

"Dengan syarat KPU sanggup menyelenggarakan kampanye para calon secara virtual dan penerapan vote from home saat pemungutan suara serta penegakan hukum yang keras. Sanksinya diskualifikasi dan ancaman pidana berdasarkan UU darurat penanganan wabah dan bencana nasional," tegas Satyo.

"Bila pemerintah dan KPU tidak sanggup, maka sudah sepatutnya Pilkada 2020 ditunda," pungkasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA