“Pilkada harus menjadi pesta politik dan demokrasi yang aman dari bahaya apapun, termasuk Covid-19. Jangan sampai mengorbankan rakyat,†kata Direktur Eksekutif Center of Intelligence and Strategic Studies, Ngasiman Djoyonegoro dalam keterangannya, Kamis (24/9).
Menurutnya, pilkada 2020 perlu dilakukan dengan kerja sama semua pihak untuk memutus persebaran Covid-19. Terlebih, sampai saat ini kasus Covid-19 nasional belum menunjukkan tren penurunan.
“Pemilu hakikatnya untuk rakyat. Jadi harus dilaksanakan dengan sangat mempertimbangkan kemaslahatan rakyat,†tegasnya.
Larangan kampanye dengan menggelar rapat umum termaktub dalam Pasal 88C PKPU 13/2020 yang telah menjadi kesepakatan seluruh stakeholder penyelenggara Pilkada 2020, yakni DPR, KPU, Bawaslu, dan pemerintah. Atas hal itu, jelasnya, pelanggaran peraturan ini bisa diartikan berlawanan dengan hukum dan keputusan negara.
Di sisi lain, ia juga melihat ada potensi instabilitas keamanan nasional bila klaster Covid-19 terjadi di Pilkada 2020. Hal itu makin menghawatirkan bila merujuk pemetaan yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Disebutkan, ada 50 daerah rawan corona tinggi atau sangat mungkin menciptakan klaster Covid-19.
“Dalam kondisi pandemi, sekecil apapun potensi yang bisa mengarah kepada instabilitas keamanan harus dihindari. Karena bisa menambah krisis dan semakin menyengsarakan masyarakat.
Cost yang harus dibayar besar,†urainya.
Belum lagi masa transisi politik selalu menjadi momen paling rawan di negeri ini, khususnya terkait keutuhan dan kesatuan bangsa.
“Kalau paslon taat aturan, berarti mereka telah turut menjaga keberlangsungan persatuan nasional. Jangan biarkan pandemi ini menciptakan gejolak politik seperti di Haiti dan Prancis saat wabah HIV dan black death di masa lalu. Kita harus belajar dari sejarah,†tutup pria yang akrab disapa Simon ini.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: