Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ketua Banggar DPR: Ada Penyesatan Informasi UU Ciptaker Yang Memprovokasi Buruh

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/diki-trianto-1'>DIKI TRIANTO</a>
LAPORAN: DIKI TRIANTO
  • Rabu, 07 Oktober 2020, 18:02 WIB
Ketua Banggar DPR: Ada Penyesatan Informasi UU Ciptaker Yang Memprovokasi Buruh
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, MH Said Abdullah bersama Ketua DPR RI Puan Maharani dan pimpinan sidang Paripurna Azis Syamsuddin saat pengesahan UU Cipta Kerja/Ist
rmol news logo Ada mis informasi yang sampai kepada masyarakat mengenai Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan DPR RI dan pemerintah, Senin kemarin (5/10).
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Bahkan dari kacamata Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, MH Said Abdullah, ada pembelokan informasi yang masif pada klaster ketenagakerjaan yang disinyalir motifnya untuk memprovokasi kalangan buruh. Padahal, semangat UU tersebut memberikan perlindungan secara komprehensif terhadap pekerja.

Menurut Said, penyesatan informasi ini sangat berbahaya dan bisa menimbulkan gejolak di tengah masyarakat. Karena itu, dia meminta semua elemen menahan diri agar tidak menjadi corong penyebaran hoaks soal UU Ciptaker ini.

“Stop penyebaran hoaks untuk memprovokasi kalangan buruh. Ini sangat mengganggu produktivitas kita dalam bekerja untuk memulihkan ekonomi sebagai akibat dampak dari pandemi Covid-19,” tegas Said di Jakarta, Rabu (7/10).

Said memastikan, UU Ciptaker memberikan perlindungan yang komprehensif bagi tenaga kerja. Bahkan, untuk pekerja kontrak pun diberikan kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai bentuk perlindungan kepada para tenaga kerja.

“Saya pastikan, UU Ciptaker membuat para tenaga kerja akan banyak terbantu,” tegasnya.

Guna meluruskan informasi yang beredar di tengah masyarakat, politisi PDIP ini pun membeberkan 10 poin mengenai UU Ciptaker ini. Pertama, tidak benar bahwa status karyawan tetap dihilangkan, dan perusahaan bisa melakukan PHK kapan pun.

Dalam ketentuan Pasal 151 Bab IV UU Ciptaker, memberikan mandat yang jelas bahwa pemerintah, pengusaha dan serikat pekerja mengupayakan tidak terjadi PHK. Bila terjadi, maka ada ketentuan yang mengatur melalui tahap yang jelas, harus melalui pemberitahuan ke pekerja, perlu ada perundingan bipartid, dan mekanisme penyelesaian hubungan industrial.

“Jadi tidak serta merta langsung bisa PHK,” terangnya.

Pasal 153 Bab IV UU Ciptaker juga mengatur pelarangan PHK dikarenakan beberapa hal, misalnya berhalangan kerja karena sakit berturut turut selama 1 tahun, menjalankan ibadah karena diperintahkan agamanya, menikah, hamil, keguguran kandungan, menyusui, memiliki pertalian darah dengan pekerja lainnya di satu perusahaan, menjadi anggota serikat pekerja, mengadukan pengusaha kepada polisi karena yang bersangkutan melakukan tindak kejahatan, berbeda agama, jenis kelamin, suku, aliran politik, kondisi fisik, keadaaan cacat karena sakit atau akibat kecelakaan.

Pasal 154 Bab IV UU Ciptaker mengatur PHK hanya boleh karena penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan, perusahaan melakukan efisiensi, perusahaan tutup karena kerugian, perusahaan tutup karena force majeur, penundaan kewajiban pembayaran utang, perusahaan pailit, perusahaan merugikan pekerja, pekerja melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, pekerja ditahan oleh pihak berwajib, pekerja sakit berkepanjangan lebih dari 1 tahun.

Kedua, jelasnya, tidak benar karyawan alih daya/outsourching bisa diganti dengan kontrak seumur hidup. Hal tersebut tidak diatur dalam UU Ciptaker. Dalam Pasal 66 UU Ciptaker menjelaskan, hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Bahkan UU Ciptaker mengatur perjanjian kerja tersebut harus memberikan perlindungan kesejahteraan pekerja serta kemungkinan perselisihan yang timbul harus sesuai dengan ketentuan perundang undangan.

Ketiga, tidak benar bahwa hak cuti karyawan dihilangkan. Pasal 79 UU Ciptaker mengatur, pengusaha wajib memberikan cuti. Cuti yang dimaksud antara lain cuti tahunan, paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.

Keempat, tidak benar bahwa jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang. Pada 82 UU Ciptaker memberikan jaminan sosial tenaga kerja bahkan ditambahkan. Jaminan sosial meliputi kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, kematian dan kehilangan pekerjaan.

Kelima, tidak benar libur hari raya hanya di tanggal merah. Tidak ada pengaturan seperti ini didalam UU Ciptaker. Keenam, tidak benar istirahat Shalat Jumat hanya 1 jam. Hal itu tertuang dalam Pasal 79 UU Ciptaker yang mengatur pengusaha wajib memberikan istirahat.

Istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.

Ketujuh, tidak benar uang pesangon dihilangkan. Ketentuan pesangon tertuang didalam Pasal 156 bab IV UU Ciptaker yang mengatur pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima, dan dijelaskan dengan rinci pada pasal ini.

Kedelapan, upah buruh dihitung per jam. Ia menegaskan tidak ada ketentuan seperti ini di dalam Undang Undang Cipta Kerja. Pasal 88 UU Ciptaker mengatur mekanisme pengupahan yang meliputi upah minimum, struktur dan skala upah, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu, dan hal hal yang dapat diperhitungkan dengan upah.

Kesembilan, tidak ada penghapusan UMP, UMK dan UMSP. Hal ini sebagaimana dalam Pasal 88 C bab IV UU Ciptaker yang mengatur Gubernur menetapkan UMP, dan menetapka UMK dengan syarat tertentu. Pertimbangan penetapan upahnya berdasarkan kondisi ekonomi (ekonomi daerah, inflasi), dan ketenagakerjaan.

Kesepuluh, tidak benar bahwa pekerja yang meninggal ahli warisnya tidak dapat pesangon. Dalam Pasal 61 UU Ciptaker, mengatur bila pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

“Semoga penjelasan ini memberikan informasi yang jelas, dengan dasar hukum yang jelas pula, sehingga menjernihkan kesimpangsiuran informasi,” tutupnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA