Begitu kesaksian Wakil Ketua Umum DPP Partai Gelora Fahri Hamzah menanggapi penangkapan keduanya oleh aparat kepolisian. Fahri mengaku sudah mengenal keduanya sejak 30 tahun lalu.
“Mereka adalah teman berdebat yang berkualitas. Mereka dulu korban rezim orba yang otoriter. Kok rezim ini juga mengorbankan mereka?†tegasnya dalam akun Twitter pribadi, Kamis (15/10).
Lebih lanjut, Fahri mengurai bahwa dirinya sempat menentang teori “crime control†dalam pemberantasan korupsi yang dianut KPK, sebab dia khawatir ini akan jadi mazhab penegakan hukum di Indonesia.
“Saya bersyukur melihat KPK lembali ke jalan hukum, tapi sedih dengan ideologi lama itu dipraktikan penegak hukum lain,†tekannya.
Inti dari “crime controlâ€, sambung Fahri, adalah penegakan hukum yang mendorong “tujuan menghalalkan cara†atau “end justifies the meansâ€. Penegak hukum menganggap menangkap orang tak bersalah agar tercipta suasana terkendali. Padahal kedamaian dan ketertiban adalah akibat dari keadilan.
Kembali ke kasus Syahganda dan Jumhur, mantan wakil ketua DPR RI itu mengatakan, jika melihat abjad dari kriminalitasnya, maka yang harus ditangkap terlebih dahulu adalah orang-orang yang terekam CCTV sebagai perusuh. Bukan kritikus yang berjasa bagi demokrasi.
“Kalau kritik mereka dianggap memicu kerusuhan, kenapa tidak tangkap 575 anggota DPR yang bikin UU berbagai versi yang rusuh?†tegasnya.
“Ayolah, mari kembali kepada yg benar bahwa kegaduhan publik ada dasarnya. Hukum tidak boleh menyasar para pengritik sementara perusuh dan vandalime belum diselesaikan,†demikian Fahri.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: