Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Eks Dirjen Otda Buka Perbedaan Politik Desentralisasi Era Jokowi Dengan SBY

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/faisal-aristama-1'>FAISAL ARISTAMA</a>
LAPORAN: FAISAL ARISTAMA
  • Sabtu, 24 Oktober 2020, 11:33 WIB
Eks Dirjen Otda Buka Perbedaan Politik Desentralisasi Era Jokowi Dengan SBY
Mantan Dirjen Otda Kemendagri, Djohermansyah Djohan/Net
rmol news logo Politik desentralisasi terkendali otonomi daerah era Presiden Joko Widodo menjadi dasar lahirnya omnibus law UU Cipta Kerja. UU Ciptaker lahir sebagai jawaban pemerintah mengatasi rumitnya proses perizinan hingga masih adanya praktik jual beli perizinan berusaha.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Berbeda dengan SBY yang tidak mengendalikan politik desentralisasi kewenangan daerah. Desentralisasi tetap ada dan dibuat seimbang. 

Demikian disampaikan mantan Dirjen Otda Kemendagri, Djohermansyah Djohan saat menjadi narasumber dalam serial diskusi daring Pupuli Center bertajuk "Omnibus law dan otonomi daerah", Sabtu (24/10).

"Awal reformasi kita antara desentralisasi dan sentralisasi. Tapi bergeser lagi jaman Presiden SBY terakhir UU 23/2014, desentralisasi Indonesia ini mengambil pola berkeseimbangan ala Presiden SBY," ujar Djohermansyah.

"Nah, Pak Jokowi ini politik desentralisasi terkendali," lanjut dia menambahkan.

Dia mengurai, politik desentralisasi terkendali era Presiden Jokowi yang diikuti dengan omnibus law UU Ciptaker ini sebetulnya tidak menghapuskan kewenangan pemerintah daerah.

Jelas Djohermansyah, pada dasarnya peran pemda masih tetap ada namun pemda diwajibkan mengikuti NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) yang dibuat pemerintah pusat.

"Proses perijinan berusaha melalui OSS, sebagian kecuali bidang pertambangan ditarik ke pusat. Bila Pemda tidak bisa menjalankan kewenangan sesuai NSPK, kewenangan tersebut diambil alih pemerintah pusat," tuturnya.

Menurut Djohermansyah, omnibus law UU Ciptaker memiliki tujuan dalam rangka politik desentralisasi terkendali ala Presiden Jokowi. Hal ini lantaran masih banyak proses perizinan hingga praktik jual beli terjadi di daerah. 

"Mengapa? Karena adanya red tape, pelayanan perijinan berusaha tidak investor friendly, tidak ada standar, tidak terpadu, dan tidak ada kepastian penyelesaian jin, dan tata caranya rumit, terjadi praktik jual beli ijin, mengganggu penciptaan lapangan kerja," demikian Djohermansyah.

Selain Djohermansyah, narasumber lain dalam diskusi tersebut yakni pengamat bisnis dan keuangan, Andi Rahmat; peneliti senior LIPI, Siti Zuhro; dan pengamat ekonomi dan keuangan daerah, Jilal Mardhani. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA