Begitu disampaikan Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Siti Zuhro saat menjadi narasumber dalam serial diskusi daring Pupuli Center bertajuk "Omnibus Law Dan Otonomi Daerah", Sabtu (24/10).
"Jangan lupa dalam satu pelajaran demokrasi itu semakin rezim itu demokratis maka semakin desentralistis satu daerah itu. Tapi kalau rezimnya lebih cenderung otoritarian seperti orde baru itu pastinya desentrasasi administrasi saja, tidak pakai politik, tidak pakai keleluasaan kewenangan," ujar Siti Zuhro.
"Jadi daerah ya apa kata pusat dan ada politik anggaran," imbuhnya.
Siti Zuhro menyoroti masalah politik anggaran yang dinilai mempengaruhi desentralisasi otonomi daerah. Politik anggaran yang memicu daya tawar politik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dia lihat ada dalam UU Cipta Kerja.
"Nah, ini yang di Ciptaker itu muncul politik anggaran itu. Jadi, di situ daya tawar politik pemerintah pusat itu mulai ditonjolkan kembali karena sentralisasi kekuasaan itu lebih mengerucut pada semua haknya presiden ditambah luar biasa," katanya.
Atas dasar itu, Siti Zuhro berharap sedianya ada keseimbangan dalam rangka desentralisasi tidak berat sebelah atau proporsional.
"Dengan kata lain kedaerahan dan Keindonesiaan itu
balance. bagaimana menjaga itu. Jadi tidak dibawa ke Keindonesiaan sich tapi ada nuansa kedaerahan. Jadi, ketika
balance pasti puas, mencapai equilibrium," tutupnya.
Selain Siti Zuhro, narasumber lain dalam diskusi tersebut yakni pengamat bisnis dan keuangan Andi Rahmat, pengamat ekonomi dan keuangan daerah Jilal Mardhani dan mantan Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri Djohermansyah Djohan.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: