Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Praktisi Migas: Krisis Energi Sudah Di Depan Mata

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/diki-trianto-1'>DIKI TRIANTO</a>
LAPORAN: DIKI TRIANTO
  • Minggu, 01 November 2020, 16:07 WIB
Praktisi Migas: Krisis Energi Sudah Di Depan Mata
Paktisi Migas, Elan Biantoro/Net
rmol news logo Perhatian khusus harus diberikan pemerintah terkait pengembangan energi baru dan terbarukan. Hal ini menjadi bagian dari ketahanan nasional lantaran saat ini Indonesia tengah dihadapkan dengan krisis energi.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

"Krisis energi di negara kita sudah di depan mata. Dimana kita sudah jadi net importir minyak dan sebentar lagi akan menjadi importir gas alam," kata praktisi migas, Elan Biantoro kepada wartawan, Minggu (1/11).

Ia menjelaskan, produksi minyak nasional menurun secara konsisten karena pihak-pihak terkait tiak melakukan upaya meningkatkan kapasitas lapangan eksisting, termasuk menemukan cadangan baru melalui eksplorasi.

"Sejak tahun 2000-an, produksi minyak kita konsisten menurun. Kecuali tahun 2013/2014 sedikit naik, lalu turun lagi. Kenaikan 2013/2014 itu pun karena mulai berproduksinya Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu yang saat ini masih menyumbangkan lebih dari 25 persen produksi minyak nasional," lanjut Elan.

Setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan untuk menaikkan produksi nasional. Pertama melakukan optimalisasi lapangan eksisting secara tepat dan good engineering practices untuk menahan laju penurunan produksi supaya tidak terlalu tajam.

"Melalui well service, work over, perawatan dan penggantian sufface facilities agar efisien dan mencegah adanya unplanned shutdown," terangnya.

Langkah kedua, lanjut Elan, lakukan upaya secondary recovery di lapangan secara tepat teknologi, tepat anggaran, tepat sasaran, dan target. Hal ini diakui tidak mudah karena perlu dipegang oleh para profesional yang tepat.

"Mulai dari pemberi kebijakan alias regulator (ESDM), pengawas dan pengendali KKKS (SKK Migas), para KKKS, dan perusahaan pendukung usaha hulu migas," tuturnya.

Upaya ketiga dengan melihat sejarah peningkatan produksi di Indonesia yang hampir diawali dengan penemuan berskala raksasa (giant discovery) yang kemudian dikembangkan menjadi giant fields. Contohnya seperti Minas, Duri, Mahakam, Suban, Arun, Tangguh BP, Banyu Urip.

"Upaya-upaya ketiga hal ini punya prasyarat utama, yaitu kondusifnya iklim investasi hulu migas yang baik. Ditunjang kondisi global seperti harga crude oil yang bagus (tinggi)," lanjut Elam.

Mantan Kabag Humas SKK Migas ini berpandangan, pengusaha dalam negeri seperti Pertamina juga perlu meningkatkan produksi migasnya. Kemudian bauran energi dari energi baru dan terbarukan juga bisa diperbesar.

Produksi tersebut bisa diperbesar karena telah tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional/Rencana Umum Energi Nasional (KEN/RUEN) yang disusun oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Kebijakan ini diketuai Presiden RI, Joko Widodo dengan Menteri ESDM sebagai ketua harian.

"Semua konsep dan rencana yang disusun DEN tersebut, tentunya harus secara konsisten dieksekusi dengan baik oleh para pihak yang dipimpin oleh 'The right person at the right position'," tandasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Eddy Soeparno menyebut permasalahan di industri migas di Tanah Air relatif klasik.

Persoalan tidak hanya di sektor penurunan konsisten lifting migas, melainkan banyak investor migas besar hengkang dari Indonesia. Imbasnya, men-trigger, penurunan lifting migas, dan berpotensi habis dalam 15 tahun mendatang.

"Solusinya perlu investasi siginifikan dari pengusaha dalam negeri. Pertamina perlu meningkatkan produksi migasnya," jelasnya beberapa waktu lalu. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA