Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pengamat: Megawati Gagal Memaknai Kota Intelektual

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Jumat, 13 November 2020, 11:50 WIB
Pengamat: Megawati Gagal Memaknai Kota Intelektual
Megawati Soekarnoputri/Net
rmol news logo Pernyataan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, yang menyebut DKI Jakarta Ambudarudul karena proses pembangunannya tidak mencerminkan konsep kota intelektual, menuai komentar banyak pihak.

Salah seorang yang berkomentar ialah Direktur Indonesia Future Studies (INFUS), Gde Siriana Yusuf, yang menilai pernyataan Megawati dalam acara pemberian penghargaan 'City of Intellectual' pada Selasa (10/11), tidak berdasar.

Sebab menurutnya, alasan yang digunakan Megawati menilai Jakarta Ambiradul hanya berdasarkan hasil riset yang dipimpin Ketua Senat dan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Hafid Abbas.

"Padahal definisi kota intelektual bisa macam-macam. Dunia internasional banyak yang mendefinisikan, setelah melakukan penilaian atas kota-kota intelektual di dunia," ujar Gde Sirianan Yusuf saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (13/11).

Beberapa definisi dari kota intelektual yang ada pada sejumlah negara di dunia disebutkan Gde Siriana. Misalnya, ada yang mendefinisikan kota dengan banyaknya intelektual, kota literasi dan narasi besar.

"Atau kota yang memiliki banyak public intellectual (masyarakat intelektual) yang berpartisipasi aktif dalam pembuatan kebijakan publik," sambungnya.

Lebih lanjut, Aktivis Bandung Intiative ini memberikan contoh kota intelektual yang ada di didunia. Salah satunya adalah Kota Edinburgh, Skotlandia, yang sejak abad 18 hingga 19 terkenal sebagai kota intelektual kelas dunia karena banyak tokoh intelektual dunia lahir atau berkarya di kota itu.

Mereka menghasilkan ide-ide baru di bidang ekonomi, geologi, kimia, dan filosofi yang memulai revolusi industri, dan mengubah cara kita memandang dunia. Mereka antara lain Adam Smith, David Hume, James Hutton, William dan John Hunter," bebernya.

Contoh kota intelektual lainnya yang disebutkan Gde Siriana adalah kota Makkah dan Madinah. Dia mengutip hasil disertasi Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra untuk Columbia University tahun 1992.

"Azyumardi Azra menyebutkan, Makkah dan Madinah (Haramain) memainkan peran penting sebagai pusat persebaran gagasan reformasi Islam sejak abad ke-17. Banyak ulama, sufi, pemikir, filsuf, dan sejarawan yang saling bertukar informasi dan ilmu di sana, termasuk benih-benih pemikiran anti-kolonialisme," sebutnya.

Tapi jika melihat definisi kota intelektual yang dipaparkan UNJ, yaitu kota mahasiswa yang tolak ukurnya adalah murahnya makanan dan biaya hidup di kota, dan rendah kriminalitas, menurut Gde Siriana adalah suatu yang berbeda dengan definisi kota intelektual pada umumnya di dunia.

"Jangankan Jakarta, barangkali kota Edinburgh, Makkah atau Madinah pun tidak akan masuk sebagai kota intelektual, jika tolak ukurnya biaya hidup di kota-kota tersebut relatif mahal," ungkapnya.

Oleh karena itu, pernyataan Megawati yang menyebut DKI Jakarta amburadul, dan justru memberikan penghargaan 'City of Intellectual' kepada Kota Semarang, Solo dan Surabaya, tidak memiliki dasar pemikiran yang tepat. Justru lebih bersifat politis.

"Ketum PDIP (Megawati) membandingkan kota Jakarta dengan kota Semarang dalam kriteria kota intelektual yang dibuat tim UNJ, saya pikir intelektualitas para intelektual yang hidup di Jakarta tidak bisa dilihat dari kriteria tim UNJ tersebut," tuturnya.

"Sehingga, kualitas award kota intelektual menjadi bias atau bahkan absurd ketika kita gagal dalam mendefinisikan makna intelektual itu sendiri, dan oleh karena itu juga salah dalam menetapkan kriteria-kriterianya," demikian Gde Siriana Yusuf. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA