Begitulah yang diungkapkan Dosen Kebijakan Publik FISIP Universitas Nasional (Unas), Chazali H. Situmorang, dalam diskusi virtual Perpektif Indonesia, yang disiarkan kanal Youtube Smart FM, Sabtu (28/11).
"Kalau memang menterinya memberikan tugas khusus kepada dia yang tidak sesuai dengan aturan atau norma yang ada, ini yang menimbulkan suasana yang tidak kondusif," ujar Chazali.
Berdasarkan pasal 68-70 Peraturan Presiden (Perpres) 68/2019 tentang Organisasi Kementerian Negara, tugas Stafsus memberikan masukan atau saran kepada menteri sesaui penugasan di luar tugas-tugas organis yang sudah dilaksanakan oleh pejabat pimpinan tinggi madya, seperti Dirjen, Sekjen dan atau Kepala Badan.
"Jadi intinya Stafsus diposisi memberikan masukan kepada menteri, sebagai tingteng dalam konteks hal-hal di luar pejabat eselon 1 di kementerian," ungkapnya.
Namun sepengalamann Chazali selama 10 tahun menjadi birokrat, kerja-kerja Stafsus acap kali keluar dari yang ditetapkan di dalam aturan tersebut. Justru ada menteri yang memberikan tugas yang seharusnya di jalankan oleh pejabat eselon 1.
"Kalau itu terus-terusan di bangun, maka itu akan terjadi
birokrasi trap," tuturnya.
Bahaya dari
birokrasi trap, menurut Chazali, adalah ketika pejabat-peajbat birokrasi itu melakukan pembiaran. Dalam arti, membiarkan tugasnya diambil oleh Stafsus hingga akhirnya keluar satu kebijakan dari menteri.
"Sampai naik ke atas. Sampai naik ke stafsus lalu sampai naik ke menteri dan menteri mengambil kebijakan. Yang itu terkadang menyimpang," demikian Chazali H. Situmorang.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: