Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Refleksi 2020 Aspek Indonesia: Pandemi Menyerang, Omnibus Law Melenggang, Kesejahteraan Menghilang

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Kamis, 31 Desember 2020, 13:03 WIB
Refleksi 2020 Aspek Indonesia: Pandemi Menyerang, Omnibus Law Melenggang, Kesejahteraan Menghilang
Ilustrasi/Net
rmol news logo Kondisi yang dialami bangsa dan negara Indonesia sepanjang 2020 terasa memprihatinkan dalam pandangan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia).

Secara khusus, Aspek Indonesia menyoroti bidang ketenagakerjaan yang terdampak keras oleh pandemi Covid 19. Lebih khusus lagi karena terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan disahkannya omnibus law Undang Undang Cipta Kerja.

Harus diakui pandemi Covid-19 yang telah menewaskan puluhan ribu nyawa manusia di Indonesia, telah berimbas buruk terhadap nasib para pekerja. Mereka harus menjadi pengangguran saat kondisi ekonomi tengah menurun drastis.

Hal ini tak lepas dari sikap “menyepelekan” yang dipertontonkan Pemerintah sejak awal pandemi masuk ke Indonesia. Ditambah dengan berbagai kebijakan yang saling tumpang tindih di internal Pemerintah, membuat pencegahan virus Covid-19 tidak maksimal.

Selain itu, minimnya ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk para dokter, perawat, petugas ambulans dan pekerja kesehatan lainnya menjadi keprihatinan Aspek Indonesia sejak Covid-19 masuk Indonesia.

Dampak pandemi Covid-19 mengakibatkan terjadinya PHK massal yang dilakukan sepihak oleh perusahaan. Sebagian lagi dirumahkan tanpa dibayar upahnya, serta tidak dibayarkannya Tunjangan Hari Raya (THR) saat hari Idul Fitri tahun 2020.

Kadin Indonesia mencatat hingga awal Oktober 2020 sudah lebih dari 6,4 juta pekerja mendapat PHK. Sementara menurut data Kementerian Keuangan, pandemi Covid-19 telah menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran sebanyak 2,67 juta orang. Sehingga per November 2020,  total jumlah pengangguran sudah mencapai 9,77 juta orang.

"Dalam kondisi pandemi saat ini, selayaknya perusahaan tidak hanya mementingkan pendapatan dan laba perusahaan saja, atau bahkan dengan sengaja mengabaikan aspek kesehatan dan keselamatan pekerjanya," demikian pernyataan Aspek Indonesia, yang diterima Redaksi, Kamis (31/12).

Sepanjang 2020, Aspek Indonesia telah mendesak Pemerintah untuk tegas dalam kebijakannya, agar perusahaan tetap membayar penuh gaji dan THR pekerjanya serta memberikan insentif khusus dan terbatas pada perusahaan yang terdampak.

Aspek Indonesia juga sangat menyayangkan adanya pengusaha yang terkesan memanfaatkan pandemi Covid-19 untuk mengurangi bahkan menghilangkan hak normatif pekerja. Termasuk melakukan PHK sepihak kepada pekerjanya tanpa membayar pesangon sesuai ketentuan Undang Undang Ketenagakerjaan.

Lebih lanjut, Aspek Indonesia menyoroti kengototan pemerintah untuk mensahkan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi UU pada 5 Oktober 2020 melalui sidang paripurna DPR RI di tengah kondisi penyebaran virus Covid-19 yang belum terkendali.

Akhirnya, pada 2 November 2020, RUU tersebut telah sah menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Padahal, sejak awal proses legislasi, mulai perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan, UU Cipta Kerja telah memicu kontroversi dan kritik dari masyarakat. Terutama terkait prosesnya yang minim partisipasi publik dan tidak melibatkan unsur tripartit sejak awal penyusunan, bahkan isinya hanya menguntungkan kelompok pengusaha dan merugikan rakyat.

"Penolakan termasuk dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, tokoh agama lintas kepercayaan, mahasiswa, akademisi, aktivis lingkungan, jurnalis, pendidik, masyarakat adat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan lainnya. Seluruhnya menilai bahwa UU Cipta Kerja hanya mementingkan kelompok pengusaha dan merugikan rakyat," tambah keterangan Aspek Indonesia.

Menurut Aspek Indonesia, proses penyusunan dan pengesahan UU Cipta Kerja juga menjadi sorotan dunia internasional. Bahkan Council of Global Unions yang terdiri dari International Trade Union Confederation (ITUC), UNI Global Union, IndustriAll, BWI, ITF, EI, IFJ, IUF, PSI selaku konfederasi dan federasi serikat pekerja tingkat dunia, bersama federasi serikat pekerja internasional dan serikat pekerja dari berbagai negara seperti Japanese Trade Union Confederation (JTUC-Rengo), Central Autonoma de Trabajadores del Peru, FNV Netherlands, Memur-Sen Turky, telah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo.

Mereka menyerukan kepada Pemerintah Indonesia untuk mencabut omnibus law UU Cipta Kerja, karena menimbulkan ancaman bagi proses demokrasi, serta menempatkan kepentingan dan tuntutan investor asing di atas kepentingan pekerja, komunitas, dan lingkungan.

Organisasi serikat pekerja internasional juga prihatin bahwa prosedur dan substansi omnibus law UU Cipta Kerja tidak sejalan dengan hak asasi manusia di Indonesia, dan hukum hak asasi manusia internasional.

Pemerintah harus memastikan bahwa undang-undang di masa depan tidak mengurangi hak dan manfaat yang telah ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 serta standar ketenagakerjaan internasional.

"Namun ternyata aspirasi dan penolakan masyarakat nasional dan internasional tidak digubris. Pengesahan UU Cipta Kerja pun dilakukan secara terburu-buru dan dipaksakan. Bahkan saat pengesahan, anggota DPR tidak menerima naskah UU Cipta Kerja yang disahkan," lanjut keterangan Aspek Indonesia.

Jargon yang selalu digaungkan Pemerintah untuk kemudahan investasi, ternyata mendapat banyak penolakan dari masyarakat. Bukan karena masyarakatnya anti investasi. Tapi karena kemudahan investasi yang dicanangkan Pemerintah, justru akan membuat rakyat Indonesia kehilangan jaminan untuk dapat hidup layak.

Jaminan kepastian kerja, jaminan kepastian upah, dan kepastian jaminan sosial terancam hilang dengan diundangkannya UU Cipta Kerja.

Aspek Indonesia menegaskan, pengesahan UU Cipta Kerja terbukti telah menggerus berbagai hak normatif pekerja yang sebelumnya ada dalam Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Antara lain berkurangnya besaran pesangon bagi pekerja yang di-PHK, terbukanya potensi eksploitasi pekerja akibat dipermudahnya praktik outsourcing dan kontrak kerja berulang tanpa kepastian jaminan status hubungan kerja. Termasuk dihilangkannya komponen survei kebutuhan hidup layak dalam penetapan upah minimum setiap tahun.

Jiwa omnibus law UU Cipta Kerja yang berisi “Flexibility Labor”, “Easy Hiring”, dan “Easy Firing” di masa depan akan menimbulkan praktek eksploitasi terhadap rakyat. Sedangkan Negara pada saat itu telah “kehilangan” kewenangannya untuk dapat memberikan jaminan perlindungan kepada rakyat, dalam mendapatkan hak konstitusionalnya untuk bisa hidup sejahtera.

Pemerintah sebagai representasi negara seharusnya hadir untuk menjamin terpenuhinya jaminan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sesuai amanat UUD 1945. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA