Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Agar Petani Sawit Bisa Sejahtera, APPKSI Desak Pembatalan Bea Keluar Ekspor CPO

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Kamis, 21 Januari 2021, 20:00 WIB
Agar Petani Sawit Bisa Sejahtera, APPKSI Desak Pembatalan Bea Keluar Ekspor CPO
Dewan Pimpinan Pusat APPKSI, AM Muhammadyah/Ist
rmol news logo Pungutan Dana Perkebunan atas Ekspor Sawit dan bea keluar merupakan dua pungutan yang dikenakan atas ekspor kelapa sawit, crude palm oil, dan produk turunannya.

Besaran tarif Dana Perkebunan atas Ekspor Sawit dikenakan berdasarkan harga crude palm oil. Dan, Kementerian Keuangan baru-baru ini menaikkan tarif pungutan.

Berdasarkan PMK N0. 191/PMK.05/2020, pungutan ekspor CPO dengan harga di bawah atau sama dengan 670 dolar AS dikenai tarif 55 dolar AS per ton. Tarif pungutan ini akan naik dari 15 dolar AS per ton setiap kenaikan harga CPO 25 dolar AS per ton.

Kementerian Perdagangan juga menetapkan harga referensi minyak sawit mentah untuk penetapan bea keluar pada periode Januari 2021 sebesar 951,86 dolar AS/ton. Harga referensi ini meningkat 81,09 dolar AS atau 9,31 persen dibandingkan dengan harga Desember 2020 yang dipatok 870,77 dolar AS per ton.

Saat ini harga referensi CPO telah jauh melampaui threshold 750 dolar AS per ton. Untuk itu, pemerintah mengenakan BK (bea keluar) CPO sebesar 74 dolar AS per ton untuk periode Januari 2021.

Bea keluar CPO untuk Januari 2021 merujuk pada Kolom 6 Lampiran II Huruf C Peraturan Menteri Keuangan No. 166/PMK.010/2020 sebesar 74 dolar AS per ton. Nilai tersebut jauh meningkat dibandingkan dengan bea keluar CPO untuk periode Desember 2020 sebesar 33 dolar AS per ton.
 
Penerapan BK ini akan menekan kembali harga Tandan Buah Segar (TBS) petani. Pasalnya, dalam struktur penetapan harga TBS petani yang ditetapkan setiap minggu dipengaruhi pajak ekspor dan pungutan ekspor. Pajak ekspor dan pungutan ekspor itu masuk dalam biaya pengurang harga TBS yang diterima petani.

Istilah umumnya biaya produksi yang diterapakan oleh Perusahaan perusahaan pabrik kelapa sawit (PKS) yang menjadi penerima TBS dari pengepul TBS.

Belum lagi persoalan petani yang tidak bisa menjual TBS langsung ke PKS–PKS, terutama petani rakyat (mandiri) yang tidak bermitra dengan perusahaan sawit mana pun.

Akibat keterbatasan kapasitas produksi pada PKS, menyebabkan hasil penen TBS petani tidak dapat diolah secara maksimal. Sehingga petani mengalami kerugian karena harus menjual ke pengepul TBS yang membeli TBS di bawah harga yang ditetapkan oleh Disbun.

"Kami mengusulkan kepada pemerintah supaya bea keluar sawit sementara dinolkan atau ditunda terlebih dahulu agar tidak menjadi beban tambahan yang menyebabkan tertekannya harga di tingkat petani," ujar Ketua Umum Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI), AM Muhammadyah, melalui keterangan yang diterima Redaksi, Kamis (21/1).

Kenaikan tarif pungutan ekspor CPO sudah cukup dan tidak perlu ditambah dengan penaikan bea keluar. Pasalnya, kenaikan pungutan ekspor tersebut saja sudah akan menekan harga tandan buah segar (TBS) petani. Dan karena memang berkat pungutan ekspor inilah harga TBS petani terjaga melalui (industri) biodiesel.

Sementara itu, jika bea keluar yangmerupakan penerimaan negara yang masuk ke dalam kas negara dinaikan tarifnya, maka penaikan bea keluar sawit akan menekan permintaan ekspor secara signifikan.

Di mana permintaan ekspor akan turun dan harga CPO menjadi rendah dan produksi CPO nasional pun menurun, yang akhirnya juga akan berpengaruh pada penurunan jumlah pungutan ekspor CPO yang digunakan untuk mensusbsidi industry biodiesel.

Padahal pungutan ekspor sawit merupakan keniscayaan untuk menyelamatkan industri biodiesel nasional. Sebab, sebanyak 9,5 juta ton CPO akan terbengkalai jika industri tersebut terbengkalai.

Pembatalan kenaikan bea keluar atas ekspor kelapa sawit, crude palm oil, dan produk turunannya dimaksud agar agar pasar dapat mengunci harga bawah TBS petani di level Rp 2.100 per kilogram.

Perlu menjadi catatan kenaikan harga CPO dan permintaan CPO di luar negeri sepanjang 2020 hingga saat ini ini mencapai level sebesar 951,86 dolar AS  per ton. Pada Januari 2021 lebih disebabkan karena diberlakukannya protokol lockdown di negara produsen CPO, salah satunya Malaysia.

Alhasil, produktivitas perkebunan kelapa sawit Negeri Jiran merosot lantaran kekurangan tenaga kerja untuk memanen kelapa sawit. Artinya, jika sudah tidak lagi lockdown di Malaysia maka kemungkinan harga CPO di tahun 2021 akan kembali menurun. Begitu pula harga TBS akan turun juga.

Lalu apa yang akan diberikan oleh pemerintah jika harga CPO jatuh kembali? Karena selama ini saat harga CPO rendah tidak ada satupun kebijakan pemerintah untuk membantu para stake holder kelapa sawit

"Karena itu APPKSI mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan bea keluar ekspor CPO atau menurunkan tarif pungutan ekspor CPO agar petani sawit bisa hidup sejahtera dan bisa merasakan hasil kerja payah selama ini," demikian AM Muhammadyah. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA