Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tim Transisi Tak Punya Dasar Hukum, Walikota Makassar Terpilih Diminta Bersabar

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Rabu, 27 Januari 2021, 09:49 WIB
Tim Transisi Tak Punya Dasar Hukum, Walikota Makassar Terpilih Diminta Bersabar
Pakar Otonomi Daerah, Prof Djohermansyah Djohan/Ist
rmol news logo Sikap Walikota Makassar terpilih Mohammad Ramdhan 'Danny' Pomanto dengan menyiapkan tim transisi dinilai kurang tepat. Sebab, di sistem perundang-undangan tidak ada yang mengatur hal tersebut saat terjadi peralihan kepemimpinan di daerah.

Tim transisi ini rencananya diisi 5 tim ahli. Namun saat ini baru ada dua nama, yaitu mantan Pj Walikota Makassar Yusran Jusuf dan Ahli Hukum Tata Negara Unhas Aminuddin Ilmar.

Untuk itu, Danny Pomanto pun disarankan untuk bersabar dan menahan diri hingga dirinya dilantik sebagai Walikota Makassar periode berikutnya, yang rasanya akan dilakukan dalam waktu yang tidak lama lagi.

"Beda dengan sistem pemerintahan Amerika. Di Indonesia mulai dari presiden, gubernur, maupun bupati/walikota tidak diatur soal transisi, atau peralihan dari pemerintahan yang lama ke pemerintahan yang baru. Kita tidak mengenai konsep itu dan tidak dinormakan dalam undang-undang," terang pakar Otonomi Daerah, Prof Dr Djohermansyah Djohan, melalui keterangannya, Rabu (27/1).

Menurut Prof Djo, sapaan akrabnya, inisiatif atau prakarsa dari kepala daerah terpilih untuk melakukan transisi tidak punya dasar legal. Sehingga pimpinan OPD pun tak punya kewajiban memenuhi panggilan terkait tim transisi yang dibentuk kepala daerah terpilih.

Menurut Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri periode 2010-2014 ini, secara yuridis-formal kepala daerah itu baru mulai bekerja terhitung setelah dilantik, ketika dia sudah dinyatakan sah sebagai kepala daerah.

"Itu model Indonesia. Dia baru bisa melakukan briefing kepada kepala dinas, memanggil birokrat di lingkungan Pemda, memberikan arahan arahan untuk mewujudkan program yang dijanjikan waktu kampanye, setelah dia dilantik sebagai kepala daerah," paparnya.

Prof Djo menyarankan pemanggilan itu dilakukan setelah dilantik. Ketika itu dia bisa menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai kepala daerah.

"Kalau masih dalam posisi sebagai sebagai kepala daerah terpilih, khawatir bisa timbul aneka persoalan. Karena belum ada wewenang memanggil birokrat. Ada yang dipanggil mau tapi tidak nyaman. Ada pula yang menolak karena merasa sang kepala daerah belum berwenang. Tentu akan ada perasaan tidak enak bagi kepala daerah terpilih nanti. Ini menjadi perkara baru," ujarnya.

Lebih baik, sambungnya, kepala daerah terpilih itu bersabar sampai menunggu pelantikan untuk melakukan tugas dan wewenangnya.

"Tidak perlu ada kegaduhan-kegaduhan dulu, low profile saja, toh masa jabatan kan lima tahun. Ikuti saja pakem aturan main dalam undang-undang Pemda," imbuhnya.

Bagaimanapun, kata Prof Djo, pemanggilan pimpinan OPD yang dilakukan kepala daerah terpilih bisa menimbulkan kecurigaan, bahkan ketidaknyamanan dari birokrasi. Pun pertanyaan di ruang publik. Kecuali kalau sudah diatur dalam UU.

"Jangankan di tingkat bupati/walikota dan gubernur, di tingkat presiden sekalipun tidak ada pengaturan pemerintahan peralihan. Belum ada pijakan konstitusinya. Jika yang dipanggil tim sukses tidak masalah, tapi kalau jajaran birokrasi bisa menimbulkan akibat yang kurang baik," ucapnya.

Lanjut Prof Djo, tidak bijak jika kepala daerah terpilih yang belum dilantik memanggil birokrat, apalagi tanpa izin pejabat yang berwenang sekarang. Karena itu bisa membuat birokrasi terbelah.

"Lagipula semisal mau lakukan pergantian pejabat, maka itu tidak secara otomatis. Menunggu 6 bulan dulu baru bisa dilakukan mutasi sesuai sistem merit. Kecuali kalau ada jabatan yang kosong karena ada yang meninggal atau pensiun. Itupun juga harus seizin Mendagri," jelas Presiden i-Otda (Institut Otonomi Daerah) ini.

Terkait masuknya Yusran Jusuf sebagai anggota tim peralihan, dinilai bisa menimbulkan relasi yang kurang baik dengan pemerintah atasan.

"Hindari kebijakan yang kontroversi. Lebih baik bangun keserasian dan keharmonisan dengan gubernur sebagai 'boss; ibukota provinsi. Baiknya jalin kerjasama, berkolaborasi, lupakan yang sudah-sudah. Maka dengan begitu akan terjalin relasi positif antara pemerintah bawahan dengan pemerintahan atasan," ujar Pj Gubernur Riau 2013-2014 tersebut.

Ke depan, kalau memang dianggap perlu, boleh saja diusulkan agar Indonesia mengatur model transisi pemerintahan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA