Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tesla Pilih India Daripada Indonesia, GMNI DKI: Ada Dua Masalah Pokok Belum Selesai

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-kiflan-wakik-1'>AHMAD KIFLAN WAKIK</a>
LAPORAN: AHMAD KIFLAN WAKIK
  • Sabtu, 20 Februari 2021, 00:37 WIB
Tesla Pilih India Daripada Indonesia, GMNI DKI: Ada Dua Masalah Pokok Belum Selesai
Tesla/Net
rmol news logo Tesla sempat ramai dikabarkan akan melakukan investasi mobil listriknya di Indonesia.

Namun, belakangan yang santer terdengar adalah mereka malah memilih India sebagai lokasi terbaru pabriknya.

Padahal, sampai akhir tahun lalu kabar Tesla akan memilih Indonesia sebagai salah satu lokasi investasinya masih terdengar kencang.

Beberapa strategi juga dilancarkan pemerintah untuk menarik minat perusahaan mobil listrik paling laris di dunia itu untuk masuk tanah air.

Tapi dalam setidaknya sepekan terakhir, Tesla malah disebut-sebut akan membangun pabrik terbarunya di India. Informasi Tesla akan masuk dan bikin pabrik di India pertama dikeluarkan oleh M B.S. Yediyurappa, Kepala Menteri Negara Bagian Barat Daya Karnataka.

Ketua Bidang Analisis Kebijakan Publik GMNI DKI Jakarta, Teofilus Mian Parluhutan menilai keputusan Tesla untuk berinvestasi di India adalah salah satu ontoh gagalnya Omnibus law UU Cipta Kerja dalam menarik minat investor luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia.

"Jadi dengan mendengar kabar bahwa Tesla lebih memilih India untuk membangun pabrik terbarunya ketimbang Indonesia , adalah bukti gagalnya omnibus law dalam menarik investor dari luar negeri," ujar Teofilus, Jumat (19/2).

Menurut dia, masalah utama hambatan investasi masuk ke Indonesia adalah penegakkan hukum. Sementara Omnibus Law Cipta Kerja justru lebih banyak mengatur masalah ketenagakerjaan.

Setali tiga uang, demikian pula dengan 16 paket kebijakan ekonomi yang dirilis oleh Presiden Joko Widodo saat periode pertamanya yang sama sekali tak menyinggung penegakan hukum. 

"Masalah daya saing Indonesia yang rendah itu disebabkan pemberantasan korupsi yang lemah. Itu tidak pernah dibahas di dalam omnibus law atau pun paket kebijakan ekonomi lainnya, bisa jadi nanti omnibus law ini bisa berakhir gagal sama seperti 16 paket kebijakan ekonomi yang dirilis oleh Presiden Joko Widodo yang dirilis pada periode pertamanya," jelasnya.

Teofilus mencontohkan, keberhasilan negara tetangga seperti Vietnam dalam menarik investasi asing bukan didominasi kesuksesan dalam menangani masalah isu ketenagakerjaan.

Namun, pemerintah vietnam memiliki komitmen kuat dalam penegakan hukum seperti korupsi dan pungutan-pungutan liar yang merugikan investor.

"Kita bisa mencontoh Vietnam, saat terjadi perang dagang antara China vs Amerika Serikat beberapa tahun silam banyak pabrik yang direlokasi dari China lebih memilih Vietnam ketimbang Indonesia. Negara itu disukai investor karena punya kepastian hukum yang kuat, dari pusat sampai daerah. Perizinan mudah, kemudian banyak insentif yang disediakan," urainya.

Masalah kedua yang tidak kalah penting dan jadi penyebab utama rendahnya daya saing Indonesia adalah biaya logistik yang mahal. Masalah ini pun, kata dia, sama sekali tak dibahas di UU Cipta Kerja.

"Kekurangaan Indonesia di mata investor itu ada dua yaitu penegakan hukum lemah dan ongkos logistik mahal. Selama dua masalah ini tidak diselesaikan, nasib omnibus law ini akan sama saja dengan paket kebijakan ekonomi presiden pada periode pertama, yaitu gagal dalam menarik investor dari luar negeri," bebernya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA