Hal ini dia sampaikan dalam diskusi virtual Progressive Democracy Watch bertajuk 'Maju Mundur Revisi UU Pemilu: Kepentingan Rakyat atau Kekuasaan?', Sabtu (27/2).
"Korupsi di Indonesia dulu-dulu 30 persen dari total anggaran (APBN). Hari ini korupsi sudah berlangsung pada tahap perencanaan, pada saat di DPR. Perkiraan kami sekitar 40 persen," ujar sosok yang kerap disapa RR ini.
Dalam hitung-hitungannya, jika dalam setahun anggaran belanja negara di dalam APBN dipatok Rp 2.000 triliun, kemungkinan ada Rp 800 triliun yang di korupsi oleh oknum.
Akar masalah dari korupsi ini, menurut RR, berada pada sistem demokrasi di Tanah Air yang transaksional hingga pengaturan regulasi yang tidak tepat.
Sebagai contoh, mantan Menko Ekuin era Presiden Gus Dur ini menilai aturan narapidana korupsi boleh mencalonkan diri kembali usai lepas dari hukumannya adalah tidak tepat.
Karena tidak menutup kemungkinan, narapidana korupsi itu akan melakukan hal serupa ketika dirinya terpilih menjadi pemimpin, hingga akhirnya jumlah APBN yang dikorupsi semakin besar.
"Sistem ini merusak. Siapapun yang kena kasus korupsi (seharusnya) tidak boleh dipilih menjadi
elected official, mau jadi di DPR, DPRD, DPD maupun eksekutif," tegas RR.
Maka dari itu, mantan Kepala Bulog ini mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memperbaiki sistem demokrasi, yang menurutnya bisa dimulai dari penghapusan
Presidential Threshold 20 persen yang menyebabkan politik transaksional.
"Jadi ini dulu kita benahin, lewat tadi perubahan UU Pemilu, penghapusan daripada
threshold," demikian RR
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: