“Aceh dapat mengurus urusan rumah tangganya secara mandiri dengan merujuk pada UUPA, termasuk dalam urusan Pilkada,†kata pengamat politik Universitas Syiah Kuala, Effendi Hasan, dalam diskusi daring yang digelar oleh FISIP Universitas Syiah Kuala, Minggu kemarin (28/2), dikutip
Kantor Berita RMOLAceh.
Effendi menjelaskan, pada dasarnya tentang pemilihan kepala daerah sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Pelaksanaan pilkada, juga diatur dalam Pasal 65 ayat (1).
Aturan itu menyebut gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5 tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia, serta dilaksanakan secara jujur dan adil.
Dengan begitu, lanjut Effendi, jelas bahwa dalam UUPA juga menjelaskan terkait pelaksanaan Pilkada di Aceh yang terakhir kali digelar pada 2017. Sehingga, Pilkada selanjutnya adalah pada 2022. Bukan seperti yang diinginkan oleh Pemerintah Indonesia, yakni pada 2024.
Sementara itu, ahli hukum dan bekas anggota Komisi Independen Pemilihan Aceh, Junaidi Ahmad mengatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi terkait pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Aceh bukan suatu kekhususan. Karena MK menganggap bahwa seluruh Indonesia juga terdapat Pilkada.
Hal yang harus dipahami, kata Junaidi, UUPA merupakan aturan yang menjadikan Aceh sebagai daerah otonomi khusus. Memang benar pilkada bukan kekhususan Aceh, karena di wilayah lain juga dilaksanakan Pilkada. Namun pelaksanaannya tetap harus dilihat dari kacamata kekhususan Aceh yang tertera dalam UUPA.
“Terdapat masalah dalam Qanun 12 Tahun 2016 bab 11 pasal 101 ayat 5 yang dianggap memberi ruang untuk mengikuti pilkada sesuai dengan ketetapan Undang-Undang. Oleh karena itu perlu ada penyempurnaan,†tegas Junaidi.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: