Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

KontraS Sumut: Food Estate Tak Ciptakan Ketahanan Pangan, Tapi Picu Konflik Berkepanjangan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/diki-trianto-1'>DIKI TRIANTO</a>
LAPORAN: DIKI TRIANTO
  • Senin, 01 Maret 2021, 18:27 WIB
KontraS Sumut: <i>Food Estate</i> Tak Ciptakan Ketahanan Pangan, Tapi Picu Konflik Berkepanjangan
Presiden Jokowi saat meninjau kawasan food estate di Humbang Hasundutan/Net
rmol news logo Program food estate yang dicanangkan Presiden Joko Widodo di Desa Riaria, Kecamatan Polung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara sudah 4 bulan berjalan. Namun sejauh ini, program tersebut dinilai tidak menghasilkan ketahanan pangan, melainkan konflik berkepanjangan.

Berdasarkan monitoring KontraS Sumatera Utara, proyek pembangunan food estate difokuskan pada areal super prioritas seluas 1.000 hektare. Terbagi dalam dua skema anggaran yaitu APBN seluas 215 ha dan investor seluas 785 ha.

Skema APBN dikelola oleh Ditjen Holtikultura (200 ha) dan Badan Litbang Pertanian (15 ha). Sedangkan dari skema investor dikelola oleh PT. Indofood (310 ha), PT. Champ (250 ha), PT. Calbee Wings (200 ha), dan gabungan 4 perusahaan lain (25 ha).  

Staf Informasi dan Dokumentasi KontraS, Adinda Zahra Noviyanti mengungkapkan, hingga akhir Februari 2021, proyek food estate masih dilakukan di areal seluas 215 hektare. Lokasinya di Dusun IV Desa Riaria. Secara status, lahan tersebut merupakan hak milik 174 masyarakat yang terdiri dari 7 kelompok tani.

“Lokasi ini sudah dikeluarkan dari kawasan hutan sejak tahun 1979, sehingga sudah bersertifikat hak milik. Pembagian sertifikat dilakukan saat kedatangan presiden bulan Oktober 2020 lalu,” ujarnya diberitakan Kantor Berita RMOLSumut, Senin (1/3).

Meskipun secara administrasi masyarakat merupakan pemilik lahan, namun segala hal yang menyangkut lahan, pengambilan keputusan dan proses pengelolaan tanaman harus menyesuaikan dengan skema food estate. Mulai dari jenis tanaman, sumber bibit, pupuk, hingga peyaluran hasil panen telah ditentukan dari Kementerian Pertanian ataupun Pemerintah Kabupaten.

“Masyarakat tidak bisa mengambil kebijakan sendiri, bahkan koperasi yang nantinya dibentuk untuk distribusi hasil panen pun adalah orang yang ditunjuk oleh Pemkab,” tegas Adinda.

Kementan mengucurkan dana Rp 30 miliar untuk tahun anggaran 2020. Dana pengembangan untuk setiap hektarenya mencapai Rp 9 sampai Rp 10 juta untuk membuat bedengan, perawatan hingga distribusi panen yang disetor melalui kelompok tani. Jumlah tersebut tidak termasuk bibit, pupuk, dan fasilitas lain seperti bentor pengangkut dan selang air yang telah disediakan.  

Dalam kacamata KontraS, proyek food estate di Sumatera Utara masih menuai banyak persoalan. Jika tidak disikapi secara bijak, agenda Proyek Strategis Nasional ini justru potensial menghadirkan konflik berkepanjangan.

Koordinator KontraS Sumatera Utara, Amin Multazam mengatakan, persoalan mendasar adalah terkait penerimaan masyarakat dalam memandang pembangunan food estate. Di Desa Riaria misalnya, sekalipun masyarakat dengan senang hati menyambut kebijakan tersebut, namun tetap saja potensi lahirnya persoalan baru sangat besar.  

Sebut saja soal penentuan tapal batas lahan yang disertifikatkan, aturan pengelolaan yang sepenuhnya bergantung pada instruksi pemerintah, hingga berubahnya pola pertanian masyarakat dari kemenyan, andaliman menjadi kentang, bawang merah dan bawang putih.

“Selama ini masyarakat hidup dari tanaman kemenyan dan andaliman dengan metode pengambilan hasil dua minggu sekali. Berubahnya jenis tanaman memaksa masyarakat harus setiap hari turun ke lahan. Perbedaan pola bertani secara mendadak tentu berpengaruh pada kinerja dan hasil yang diharapkan,” sebutnya.

Belum lagi terkait Masyarakat Hukum Adat Pandumaan-Sipituhuta, rencana pembangunan Food Estate dalam skala besar justru ditenggarai sebagai salah satu penyebab berkurangnya luasan hutan adat mereka. Terbitnya SK.8172/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2020 Tentang Penetapan Hutan Adat Tombak Hamijon Seluas 2.393,83 menimbulkan tanda tanya besar. Luas hutan adat yang mereka terima jauh menyusut dari usulan awal yang mencapai 6.000 ha.  

“Munculnya berbagai polemik itu disebabkan pemerintah tidak sepenuhnya melibatkan masyarakat dalam mengambil kebijakan pembangunan Food Estate. Proses penentuan lahan, sosialisasi dan persipan penanaman pun dilakukan tidak lebih dari 5 bulan,” tegas Amin.

Menurut Amin, potensi konflik semakin besar jika melihat pengembangan proyek Food Estate menggunakan pendekatan pertahanan dan keamanan. Hal ini dibuktikan dari leading sector proyek Food Estate dipegang oleh Kementerian Pertahanan, bukan Kementerian Pertanian.

“Terjemahannya dilapangan bisa kita saksikan melalui wacana Pelibatan Komponen Cadangan (KOMCAD) yang baru-baru ini telah memiliki payung hukum melalui PP 3/2021. Ada juga surat Telegram Kapolri Nomor ST/41/I/Ops.2./2021 ihwal mendukung kebijakan pemerintah membangun ketahanan pangan nasional. Potensi konflik dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat sangat mungkin terjadi kapan saja," pungkasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA