Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Demokrasi Kian Tersandera Kepentingan Kekuasaan Oligarki

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/agus-dwi-1'>AGUS DWI</a>
LAPORAN: AGUS DWI
  • Senin, 08 Maret 2021, 17:56 WIB
Demokrasi Kian Tersandera Kepentingan Kekuasaan Oligarki
Herlambang P Wiratraman/Repro
rmol news logo Demokrasi di tanah air kian miris. Karena semakin tersandera kepentingan kekuasaaan oligarki yang jelas memperlihatkan upaya mereka untuk merawat dan menjaganya melalui pelemahan sistem Pemilu dan kepartaian.

Demikian inti dari Diskusi daring yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang bekerja sama dengan STIH Jentera, Perludem, Constitutional and Administrative Law Society (CALS), dan Pusako Universitas Andalas pada Minggu (7/3).

Saat memberikan pengantar dalam diskusi bertajuk "Oligarki Dan Koalisi Partai Mayoritas Tunggal" tersebut Herlambang P Wiratraman dari LP3ES mengatakan, hadirnya koalisi dan oposisi dalam iklim politik suatu negara adalah sebuah tolok ukur berjalannya demokrasi dengan baik.

Oposisi yang terlalu kuat akan menyebabkan pemerintahan yang terbelah, atau divided government. Sebaliknya, koalisi yang terlalu lemah berpotensi menciptakan oligarki dalam pemerintahan.

Melihat realitas kuatnya koalisi partai pemenang pemilu di Indonesia saat ini, dengan merefleksikan bergabungnya begitu banyak pesaing Jokowi dalam Pilpres yang telah masuk dalam pemerintahan, terlebih usai penyelenggaraan KLB/Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Deliserdang, menurut Herlambang telah menciptakan banyak pertanyaan.

Seperti bagaimana masa depan demokrasi di Indonesia? Apakah Pemilu demokratis akan melahirkan pemerintahan yang demokratis? Apakah memberi dampak menguatkan perlindungan hak-hak rakyat? Apakah politik hukum Pemilu hari ini telah berhasil menghentikan kuasa otoritarianisme, atau sebaliknya mengonsolidasi kuasa otoritarianisme dalam bentuk baru?

Herlambang mengingatkan, bahwa kenyataannya Pemilu telah menjadi sumber kuasa otoritarianisme modern dalam struktur dan dan sistem ketatanegaraan yang mewujud dalam dua hal.

Yaitu kartelisasi politik dan korupsi sistemik dalam organ politik lembaga negara dan partai. Akibatnya, kecenderungan kuasa neo-otoritarianisme mempunyai karakter ‘politik keroyokan’ (gang politics), daripada karakter ‘politik ideologis’ (ideological politics).

‘Politik keroyokan’ justru melahirkan kartel politik peserta pemilu, atau ‘koalisi kartel’ (mengutip Moch Nurhasyim, 2018) atau ‘cartelized party system’ (mengutip disertasi Kruskido Ambardi, 2008).

Lanjut Herlambang, kjonteks demikian mendasar dipertanyakan. Apakah hal tersebut dapat memperkuat sistem presidensial dalam politik ketatanegaraan Indonesia?

Herlambang menjawab: sama sekali tidak, melainkan dengan argumen bahwa politik hukum demikian lebih terkait dengan sejauh mana presiden/wakil presiden terpilih dapat mengakomodasi kepentingan koalisi kartel tersebut, dan kebijakan-kebijakan yang pun lebih berorientasi ramah dengan kuasa kartel (cartel friendly policies).

Argumen ini telah diingatkan Herlambang sejak 2018, bahwa desain hukum Pemilu saat ini justru mengonsolidasi sekaligus menguatkan pertumbuhan benih neo-otoritarianisme.

Sebab, 20 tahun pasca-Soeharto, perbincangan otoritarianisme bukan tersudahi, melainkan mendapat konteks baru dengan model baru pula. Sehingga lahirlah pemikiran-pemikiran untuk menimbang relasi situasi itu dengan apa yang disebut dengan ‘new authoritarianism’ (otoritarianisme baru), atau istilah lain yang berbeda ‘neo-authoritarianism’.

Sementara itu, dipaparkan pengajar STIH Jentera, Bivitri Susanti, situasi perpolitikan tanah air saat ini dapat dijelaskan dari adanya peran para aktor politik yang berperilaku dalam dua konteks. Yakni konteks partainya sendiri dan konteks institusi politik negara.
Yang menjadi pertanyaan, siapa sebenarnya yang memegang kendali dari para aktor politik tersebut?

Dari pertanyaan tersebut, dalam konteks budaya yang paling dekat dapat dijelaskan dengan dunia perwayangan dalam budaya Jawa. Ada wayang dan ada dalang. Ada master of puppets.

Para aktor wayang yang dikendalikan oleh satu atau segelintir orang. Menggambarkan betapa berbahayanya situasi tersebut.

Bagi Bivitri, sangat disayangkan para aktor politik yang dikendalikan oligarki tersebut selalu bermain dalam logika legalistik. Aspek hukum digunakan secara sangat legalistik, demokrasi yang dijalankan pun kemudian menjadi demokrasi yang sangat prosedural.

Ia kemudian mencontohkan kasus KLB Partai Demokrat, di mana argumentasi yang diajukan adalah KLB telah dilaksanakan sesuai dengan AD/ART partai.

Padahal, dalam konteks lingkaran hukum terdapat unsur etik. Syarat-syarat kongres bisa jadi masuk, tetapi itupun hanya cek list demokrasi prosedural hukum legalistik.

Terlebih lagi, ditinjau dari sisi etik dan konstitusional, terdapat nilai moral atau values. Di titik itu, Bivitri memprihatinkan jika publik akhirnya menilai langkah KLB sebagai tidak punya harga diri, namun dijustifikasi dengan sebatas asas legalistik.

Selain Herlambang P Wiratraman dan Bivitri Susanti, diskusi selama 2,5 jam yang dimoderatori oleh Haykal dari LP3ES ini juga menghadirkan dua narasumber lainnya. Yaitu Wijayanto (LP3ES) dan Khoirunnisa Agustyati (Perludem). rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA